Advertisement

HIKMAH RAMADAN: Ramadan dan Gaya Hidup

Hijriyah Oktaviani
Kamis, 04 April 2024 - 06:07 WIB
Bhekti Suryani
HIKMAH RAMADAN: Ramadan dan Gaya Hidup Hijriyah Oktaviani - Dok. Pribadi

Advertisement

Penulis seketika terhenyak mendengar tausiah seorang ustaz di media sosial yang mengkritik perilaku kebanyakan umat Islam yang menjadikan bulan Ramadan justru menjadi bulan boros. Bulan suci yang semestinya diisi dengan ibadah yang semakin meningkat namun justru dipenuhi dengan sejumlah keinginan memenuhi nafsu kebutuhan yang justru tidak terjadi di 11 bulan lainnya.

Beliau pun mencontohkan kebiasaan lain dalam memenuhi hidangan buka. Sebagai contoh adalah ketika masuk waktu berbuka puasa. Aneka menu takjil buka puasa terhidang di meja makan. Segala jenis es mulai dari es buah, es sirop, es oyen, es teler, bahkan kolak, mulai dari kolak pisang, kolak ubi dan masih banyak lagi. Belum lagi aneka menu makanan lainnya.

Advertisement

Menu buka puasa itu pun seolah menjadi ajang aksi ”balas dendam” setelah seharian tidak makan dan tidak minum, menahan lapar dan dahaga. Seperti sedang terbebas akhirnya bisa makan dan minum sepuasnya ketika tiba waktu berbuka. Terlihat bahwa pengeluaran kebutuhan hidup selama Ramadan bukannya berkurang, malah bisa menjadi lebih besar. Padahal, bukan demikian semestinya dalam mengisi bulan Ramadan.

Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatinan mendalam. Umat muslim punya tanggung jawab moral untuk kembali pada jalur yang benar dalam memaknai Ramadan. Euforia selama Ramadan sering keluar dari yang seharusnya. Sering kita jumpai justru pada jam-jam ibadah, kita berbondong memadati mal-mal, memburu diskon pakaian. Belum lagi masyarakat berbondong-bondong memburu uang baru nan mulus yang mungkin bukan merupakan sedekah biasa, melainkan sudah menjadi “gaya hidup baru” yang semoga bukan karena memenuhi gengsi.

Perenungan Bersama
Fenomena ini tentu menjadi bahan perenungan kita, mengapa hal ini terjadi, dan siapa yang bertanggung jawab? Bahkan pada saat yang sama, di masjid dan musala, ceramah, pengajian, atau pencerahan lain juga secara aktif diselenggarakan.

Dalam kehidupan berkeluarga, tuntutan pengeluaran demi gaya hidup ini bisa menimbulkan perselisihan rumah tangga. Sangat mungkin terjadi ada suami yang tidak dapat memenuhi target-target anggaran di bulan Ramadan dan Lebaran akan menjadi pemicu komplain sang istri. Fenomena umat muslim selama bulan puasa akan sampai pada satu titik puncak, yakni Hari Raya Idulfitri. Hari raya yang sebenarnya sebagai hadiah besar atau kemenangan bagi umat yang sabar menghadapi peperangan hawa nafsu, berubah menjadi ajang adu gengsi. Tradisi mudik yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi namun bisa menjadi ajang memperlihatkan capaian-capaian selama meninggalkan kampung halaman.

Menurut sang ustaz, perilaku demikian jelas bertolak belakang dengan orang-orang yang telah mencapai titik spiritualitas keimanan. Orang-orang demikian justru merasa sedih saat Ramadan berlalu. Mereka ini justru merasa belum bisa menghadirkan perilaku yang sebanding dengan keagungan dan kesucian Ramadan, dan belum tentu kita akan bertemu kembali dengan Ramadan di tahun depan.

Lantas, bagaimana dengan kita? Apakah kita termasuk dalam kelompok demikian? Ataukah Ramadan hanya akan menjadi rutinitas dengan sejumlah ironi gaya hidup yang berulang setiap tahun? Wallahualam bish shawab.

Hijriyah Oktaviani
Kepala Biro Humas dan Protokol UMY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Prediksi Cuaca Jogja dan Sekitarnya Minggu 19 Mei 2024: DIY Cerah Berawan

Jogja
| Minggu, 19 Mei 2024, 05:57 WIB

Advertisement

alt

Lagu Rohani Kristen Country yang Ngena Banget, Jesus Take the Wheel

Hiburan
| Sabtu, 18 Mei 2024, 23:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement