Opini

OPINI: Mal, Memadukan Tempat dan Image

Penulis: Th. Agung M. Harsiwi
Tanggal: 23 Januari 2020 - 05:02 WIB
Suasana salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. - Bisnis Indonesia/Himawan L. Nugraha

Munculnya mal atau pusat perbelanjaan modern di berbagai sudut Jogja memang harus disyukuri. Bagaimana tidak, karena mal bukan hanya menjadi ikon sebuah kota metropolitan, melainkan memberikan alternatif tempat berbelanja dan hiburan bagi masyarakat Jogja. Hanya sayangnya tidak semua mal di Jogja bisa hidup, beberapa mal tampak sepi. Sementara mal lainnya kebanjiran pengunjung yang acapkali membuat lalu lintas di kawasan sekitarnya macet, khususnya di akhir pekan dan hari-hari libur.

Dalam dunia pemasaran, secara konseptual dikenal istilah produk, harga, promosi, tempat dan orang atau lebih dikenal dengan 5P, yakni product, price, promotion, place dan people. Keberhasilan dalam memasarkan sebuah produk sangat tergantung pada pertama, barang atau jasa yang ingin dijual itu sendiri (produk). Kedua, harga dari barang atau jasa yang ditawarkan (harga) dan ketiga, promosi yang dilakukan (promosi). Sementara keempat, tempat barang atau jasa itu ditawarkan (tempat) dan kelima orang yang bertugas untuk memasarkan barang atau jasa tersebut (orang).

Meski memang lebih banyak dibahas di kelas-kelas manajemen dan bisnis di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, konsep 5P pemasaran sebenarnya sangat relevan dengan dunia usaha saat ini bahkan di era Revolusi Industri 4.0. Lihat saja Gojek dan Grab yang tetap menawarkan produk terbaiknya, dengan bermain harga dan membuat promosi. Beroperasi di berbagai kota pilihan sampai dengan mempekerjakan orang-orang terbaik di bidangnya.

Batas Imajiner
Karena itu, para pemilik dan pengelola mal di Jogja semestinya memegang teguh konsep 5P pemasaran itu. Apakah sudah atau belum, tentu masih dapat diperdebatkan, mungkin saja sudah, mungkin juga belum, khususnya dari aspek tempat. Ambil contoh mal yang dibangun di Babarsari yang sampai saat ini relatif sepi tenant dan pengunjung. Padahal, mal itu sudah dibuka dan beroperasi selama beberapa tahun serta gedungnya tidak kalah dengan pusat perbelanjaan modern lain di Jogja.

Namun, barangkali pemilik dan pengelola mal lupa jika Babarsari telanjur dipersepsikan sebagai kawasan pendidikan tinggi, bukan kawasan perbelanjaan atau hiburan. Orang sudah terbiasa memersepsikan kawasan Babarsari dengan kampus-kampus seperti Universitas Atma Jaya Yogyakarta, UPN Veteran maupun Universitas Proklamasi, tidak dengan mal. Hingga menjadi relatif sulit jika harus memadankannya sebagai tempat berbelanja dan hiburan.

Demikian juga dengan mal di pinggiran utara Jogja. Meskipun dengan gedung yang megah dan banyak tenant terkenal namun relatif belum hidup. Sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan karena bagi masyarakat Jogja, keluar dari wilayah aglomerasi dipersepsikan sudah keluar kota karena ringroad dianggap sebagai batas imajiner antara dalam kota dan luar kota Jogja.

Pemilihan Lokasi
Tidak aneh jika masyarakat menjadi enggan mengunjungi mal jika harus pergi sampai ke luar kota. Demikian pula sebaliknya dengan masyarakat yang tinggal di luar kawasan aglomerasi, berbelanja atau mencari hiburan mestinya pergi ke kota, bukan ke daerahnya sendiri yang berada di luar kota. Oleh karena itu, lumrah jika masyarakat sekitar mal tersebut memilih berbondong-bondong memenuhi pusat-pusat perbelanjaan di kota Jogja yang dipersepsikan di dalam kota. Bagaimanapun mengunjungi mal di dalam kota menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat.

Itu sebabnya mengapa aspek tempat menjadi sangat krusial dalam membangun dan mengembangkan mal di Jogja. Meskipun demikian, lokasi tidak bisa dimaknai secara sempit karena ada juga mal di kawasan bisnis tengah kota yang relatif sepi pengunjung, meski pernah diisi tenant ternama. Sangat mungkin karena image mal terletak di kawasan macet sepanjang hari yang menyebabkan masyarakat enggan mengunjunginya.

Aspek tempat dalam penciptaan image sebuah lokasi menjadi sangat penting dalam penentuan lokasi sebuah mal. Image yang tepat membangun persepsi masyarakat akan keberadaan suatu pusat perbelanjaan. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika pemilik dan pengelola pusat perbelanjaan harus memperhatikan pemilihan lokasi karena akan sangat menentukan image yang diharapkan dari mal tersebut.

*Penulis merupakan Dosen Program Studi Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

Miniso Pink Hadir di Sleman City Hall, Tawarkan Diskon Up to 50%
Genap Berusia 10 Tahun, JCM Bakal Kembali Gelar Jogja Fashion Rendezvous
Jelang Lebaran 2024, Penjualan Pusat Perbelanjaan di Jogja Melonjak 100 Persen
Ramadhan Delight 2024 di Pakuwon Mall Suguhkan Berbagai Event Menarik

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Kantor KPU Klaten Banjir Kiriman Karangan Bunga dari Sukarelawan 4 Caleg PDIP
  2. MMKSI Buka Diler Baru di Morowali Sulteng, Ada Banyak Promo Menarik
  3. Warga Semarang Keluhkan Elpiji 3 Kg Langka, Harga Tembus Rp24.000
  4. Militansi Edan Justin Hubner, dalam 24 Jam Membela 2 Tim Berbeda Jarak 8.126 Km

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta
Menghadapi Pertanyaan Stigmatif Saat Lebaran
Mengatur Keuangan Di Masa Lebaran Agar Saldo Tak Berakhir 0
OPINI: Merawat Persatuan dengan Pemaafan
OPINI: Tetap Happy Tanpa Drama Menghadapi Pertanyaan Stigmatif saat Lebaran
OPINI: Emas, Sang Primadona Investasi
HIKMAH RAMADAN: Idulfitri: Menjaga Kemenangan dalam Takwa
OPINI: Pengetatan Moneter dan Fiskal