Opini

OPINI: Pandemi dan Kesalehan Ekonomi

Penulis: Solikin M. Juhro, Rektor Bank Indonesia Institute dan Sekretaris Umum ISEI
Tanggal: 20 Februari 2021 - 06:07 WIB
Pedagang merapikan kain di salah satu gerai di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (8/12/2020). - Bisnis.com/Himawan L Nugraha

Hampir semua negara terdampak oleh pandemi Covid-19, dengan berbagai kadarnya. Di lebih dari 200 negara, jumlah masyarakat yang tertular mencapai lebih dari 40 juta orang, termasuk lebih dari 1 juta orang meninggal dunia. 

Sejumlah sektor ekonomi seperti transportasi, pariwisata, hiburan, otomotif, dan masih banyak lagi terdampak sangat parah (McKinsey, Standard & Poor’s), mengakibatkan ratusan juta orang kehilangan pekerjaan (World Economic Forum). Pendek kata, krisis ini sedemikian besar hingga ada yang mengatakan untuk mengatasinya diperlukan skenario pemulihan pascaperang.

Dalam situasi seperti itu, para intelektual dan pandit ekonomi makin gencar mendakwahkan etika ekonomi, agar semua pihak lebih saleh dalam perilaku ekonominya. Konsep kesalehan bisa dilihat dari terminologi yang di­mun­cul­kan seperti wellbeing eco­nomy, triple bottom line eco­nomy, doughnut eco­nomy, beyond GDP economy. Terakhir, Chairman World Economic Forum Klaus Sch­wab meramaikan kampanye ini dengan meluncurkan bu­ku berjudul Stakeholder Capitalism.

Seluruh kampanye itu berisi dorongan agar para pelaku dan pengambil kebijakan ekonomi tidak terfokus pada keuntungan atau pertumbuhan PDB, tetapi kembali pada yang terpenting, yakni pembangunan kualitas hidup manusia dan lingkungannya.

Pertanyaannya, mengapa mereka gencar mengampanyekan etika ini, dan justru makin gencar di saat dunia sedang berperang melawan pandemi ini? Apa relevansinya?

Sebenarnya ini bukan kampanye baru. Pada 1970-an sudah muncul kampanye etika bisnis triple bottom line (TBL), yakni desakan agar dunia usaha berani berprinsip bahwa sebaik-baiknya bisnis adalah yang memberikan solusi dan manfaat pada manusia (people), menjaga dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup (planet). Ini sejalan dengan risalah kenabian, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungannya.

Etika people, planet dan profit (3P) ini berawal dari banyaknya masalah kesenjangan antara dunia bisnis dengan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Banyak perusahaan untung besar, tetapi masyarakat sekitar tetap miskin dan lingkungan rusak. Perekonomian dunia terus bertumbuh, tetapi masyarakat miskin tetap banyak, dan kehidupan terancam oleh kerusakan lingkungan.

Organisasi-organisasi internasional pun ikut berkampanye agar etika ini menjadi kebijakan publik yang memiliki kekuatan memaksa. PBB, misalnya, mengadopsi prinsip ini dalam Millennium Development Goals (MDGs), yang bertransformasi menjadi Sustainable Development Goals (SDGs), yang memerinci TBL menjadi 17 tujuan. Semua anggota PBB pun sepakat, pada 2030 hidup bersama harus lebih baik dan tidak akan ada lagi yang tertinggal.

Sejumlah negara dan korporasi merespons seruan itu dengan langkah konkret, terutama terkait energi, dengan menggenjot energi terbarukan. Per hari ini, konsumsi energi terbarukan di Islandia dan Nor­we­gia sudah lebih dari 70% dari total konsumsi. Uni Ero­pa sepakat pada 2050 ti­dak ada lagi energi berbahan ba­kar fosil di sana, termasuk un­tuk kendaraan. Di sisi ini, Nor­we­gia kembali berada di depan.

Satu dari empat mobil di Norwegia adalah mobil listrik; disusul oleh Swedia (20%), dan Finlandia (15%). Se­­men­­­­ta­­ra itu, tiga perusahaan “pa­­ling hijau” menurut ver­si For­­bes juga berasal dari Skan­di­­na­­via, yakni berturut-turut Ors­­ted, Chr. Hansen Holding (Den­­mark) dan Neste Oyj (Fin­lan­dia).

Dari sisi indeks pembangun­an manusia, lagi-lagi Nor­we­gia dan Irlandia berada di urut­an teratas. Data PBB me­nye­but­kan di negara-ne­ga­ra itu ak­ses listrik sudah 100%, ha­nya 4,9% orang yang ra­wan kehilangan pekerja­an, ada tiga dokter dan tiga tem­pat ti­dur di rumah sakit per 1000 penduduk, akses inter­net 100% untuk seluruh pe­la­jar.

Akan tetapi, dibandingkan dengan problem kemanusiaan dan lingkungan yang sesungguhnya, seluruh cerita di atas bisa dibilang belum apa-apa. Di dunia ini persoalan yang sesungguhnya tidak berada di belahan utara dunia termasuk Skandinavia, tetapi terutama di bumi selatan dan Asia.

Situasi itu diperburuk oleh pan­de­mi yang tengah ber­lang­­sung. Ke­ti­ka kemiskinan da­­tang ber­sa­ma keputusasa­an, me­ma­nen “aset lingkung­an” b­isa d­i­jadikan jalan pintas.

Karena itu, pandemi justru merupakan momentum bukan untuk digulung perubahan, tetapi lebih proaktif melakukan great reset (Schwab: 2020), dengan membawa semangat kolaborasi antara para pemangku kepentingan. Dua pihak pertama yang diharapkan cepat mengambil langkah nyata memang pemerintah dan otoritas terkait.

Dengan kolaborasi yang katalitis diharapkan dapat dibangun ketahanan yang sistemik (Juhro, dkk., 2020). Jika kita serius dengan proactive great reset, justru ini adalah urusan transformasi mindset seluruh bangsa, yakni bagaimana mengadopsi keyakinan baru bahwa hidup bersama adalah tanggung jawab bersama, dan menempatkan pelestarian lingkungan untuk keberlanjutan pembangunan dalam kerangka itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Berita Terkait

Penjualan Mobil Listrik Lesu, Tesla Bakal PHK 10 Persen Karyawan
Jadi Tempat Tujuan Mudik, Ekonomi DIY Berpotensi Kecipratan Dampak Positif Peredaran Uang
Ramai Indonesia Barter Keanggotaan OECD dengan Penormalan Hubungan Israel
Uang Beredar saat Ramadan dan Lebaran 2024 Diperkirakan Tambah Rp170 Triliun

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Sejarah Kebaya yang Identik dalam Perayaan Hari Kartini
  2. Ketapang
  3. Bulog Sebut Stok Beras Capai 1,26 Juta Ton hingga Pertengahan April
  4. Ada Pemeliharaan, Cek Jadwal Pemadaman Listrik di Sleman Hari Ini (20/4/2024)

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta
Menghadapi Pertanyaan Stigmatif Saat Lebaran
Mengatur Keuangan Di Masa Lebaran Agar Saldo Tak Berakhir 0
OPINI: Merawat Persatuan dengan Pemaafan
OPINI: Tetap Happy Tanpa Drama Menghadapi Pertanyaan Stigmatif saat Lebaran
OPINI: Emas, Sang Primadona Investasi
HIKMAH RAMADAN: Idulfitri: Menjaga Kemenangan dalam Takwa
OPINI: Pengetatan Moneter dan Fiskal