Opini

OPINI: Fatwa Vaksin Covid-19

Penulis: M. Nurdin Zuhdi, Doktor Studi Islam Universitas \'Aisyiyah Yogyakarta
Tanggal: 12 Juni 2021 - 19:17 WIB
M. Nurdin Zuhdi. - Ist

Lembaga keagamaan seperti MUI, NU dan Muhammadiyah memiliki peran yang penting dan sangat strategis dalam membantu pemerintah mensukseskan progam vaksinasi Covid-19. Karena MUI, NU dan Muhammadiyah merupakan “kiblatnya” fatwa bagi masyarakat muslim di Indonesia. Masukknya vaksin Covid-19 produk Astra Zaneca ke Indonesia yang disinyalir mengandung unsur babi mendesak ketiga lembaga keagamaan tersebut mengeluarkan fatwa yang bisa dijadikan pegangan masyarakat. Namun apa jadinya jika fatwa yang dilahirkan justru menimbulkan pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat.    

Fatwa Haram-Mubah vs Halal-Suci

Sejak dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 14 tahun 2021 tentang hukum penggunaan Vaksin Covid-19 produk Astra Zaneca yang ditetapkan pada 16 Maret 2021, pro dan kontra muncul ditengah masyarakat. Kesimpulan Fatwa MUI terhadap vaksin Astra Zaneca adalah “haram-mubah”. Haram karena mengandung unsur babi, namun mubah (boleh) digunakan dalam kondisi mendesak (dharurat). Bagi masyarakat awam, khusunya bagi yang belum akrab dengan dunia fikih dan usul fikih, fatwa haram tapi boleh tentu sedikit membingungkan.

Belum mereda pro dan kontra karena fatwa tersebut, muncul fatwa “tandingan” yang dikeluarkan oleh Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur (Jatim) yang ditetapkan pada 21 Maret 2021 yang menyatakan bahwa vaksin Astra Zaneca “halal-suci”. Halal dan suci karena hasil akhir yang didapat tidak ditemukan unsur haram dan najis. Bagi masyarakat awam, kedua fatwa ini seolah-olah berbenturan dan membingungkan.

Dengan fatwa Jatim tersebut, penyuntikan vaksin Astra Zaneca langsung dilakukan bagi kalangan Kyai Pengasuh pondok pesantren di Jatim, khusunya di Jombang dan Sidoarjo. Hal ini dilakukan dalam rangka meyakinkan masyarakat akan kesucian dan kehalalan vaksin tersebut. Bahkan, suntik vaksin di Jatim ini menjadi pelopor suntik vaksin Astra Zaneca pertama secara nasional. Selain didukung oleh MUI Jatim, fatwa PWNU Jatim ini juga didukung oleh pemerintah pusat secara penuh. Tidak tanggung-tanggung, bentuk dukungan tersebut dibuktikan dengan hadirnya Presiden Jokowi yang menyaksikan secara langsung proses vaksinasi. Karena hal tersebutlah, tidak sedikit yang kemudian mengaitkan fatwa Jatim dan kehadiran Jokowi dengan peta dukungan politik NU pada Pilpres 2019 lalu. Jika hal ini terbukti, tentu independensi fatwa perlu dipertanyakan. Jika fatwa sudah ditunggangi kepentingan politik, maka krisis kepercayaan umat terhadap fatwa bisa terjadi.

Bagaimana dengan posisi Muhammadiyah? Secara resmi Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah belum mengambil sikap atas temuan unsur babi dalam vaksin Astra Zaneca tersebut. Namun Muhammadiyah pada prinsipnya selaras dan sejalan dengan sikap MUI Pusat bahwa vaksin tersebut haram, namun tetap masih boleh digunakan dengan asas kedaruratan sebagaimana kaidah ushul fiqh dan maqashid syariah. Muhammadiyah mendukung independensi MUI Pusat dalam mengeluarkan fatwa.

 

Letak Perbedaan Fatwa

Pendapat MUI Pusat berpendapat bahwa vaksin Astra Zaneca hukumnya haram karena adanya unsur babi namun tetap boleh digunakan karena adanya pertimbangan kedaruratan, yaitu karena Pandemi Covid-19 yang segera membutuhkan penanganan secara nasional. Keduanya berpegang pada kaidah fikih yang sama yaitu la dharara wila dhirara. Hal terebut berpijak pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2]: 168 tentang larangan menjerumuskan dalam kebinasaan.

Hukum kedaruratan yang dipegang oleh MUI Pusat sifatnya hanya sementara, sampai ada vaksin baru yang statusnya halal dan tayyib. Letak perbedaan fatwa PWNU Jatim dengan MUI Pusat terletak pada intifa’ (pemanfaatan) dengan barang najis (babi) untuk keperluan yang berdampak pada maslahat. Keperluan yang dimaksud dalam hal ini adalah tripsin babi sebagai media pembuat vaksin. Tripsin ini merupakan sebuah bahan yang digunakan untuk memisahkan sel inang virus dengan micro carier virus.  

MUI Pusat berpendapat bahwa zat dari babi yang digunakan sebagai perantara tersebut tidak hilang status najisnya, sekalipun sudah melalui proses sterilisasi (tathhir). MUI menggunakan pendapat Imam Syafii yang menyatakan intifa’ dengan babi dan turunnnya hukumnya haram.

Sedangkan PWNU Jatim berpendapat bahwa najis dari unsur babi yang telah diproses sedemikian rupa dan sudah berubah zatnya maka dianggap menjadi suci. Pendapat tersebut disandarkan pada pendapat Mazhab Hanafi dan Maliki. Ketentuan fikih yang dikutip adalah nahnu nahkumu bid dlawahir wa Allah yatawalla bis sara-ir, yaitu syariat tidak menuntut untuk menyelidiki lebih dalam dan mendetail bagaimana asal dan prosesnya yang penting hasil akhirnya. Jika hasil akhirnya tidak ada unsur najis dan haram, maka hukumnya suci dan halal. Itu yang dipegang oleh PWNU Jatim.

Mengapa Fatwa Bisa Berbeda?

MUI Pusat lebih menekankan pada prosesnya, sedangkan PWNU Jatim lebih menekankan pada hasil akhirnya. Perbedaan fatwa keduanya terletak pada alasan (istidlal) hukum dan proses penggalian (istinbath) hukum yang dilalukan keduanya. Ayat Al-Qur’an yang dikutip keduanya juga berbeda. Jika MUI Pusat mengutip Al-Baqarah [2]: 168, maka PWNU Jatim mengutip surat An-Nisa [4]: 71 dengan kitab Tafsir Marakh Labid karya Iamam Nawawi al-Bantani sebagai referensinya.

Ayat Al-Qur’an, sumber referensi dan pendapat ulama yang digunakan sangat mempengaruhi hasil akhir fatwa. MUI Pusat menggunakan pendapat Imam Syafii yang dikenal lebih hati-hati. Sedangankan PWNU Jatim menyadarkan pendapat kepada Mazhab Hanafi dan Maliki. Selain itu, latar belakang keilmuan dan pengalaman keagamaan masing-masing lembaga juga tidak dipungkiri dapat mempengaruhi hasil fatwa. Kita mengetahui bahwa para mujtahid yang terkumpul di MUI Pusat lebih heterogen (majemuk), termasuk ada Muhammadiyah di dalamnya yang dikenal cukup hati-hati dalam masalah nash, namun dalam urusan ijtihad duniawiah Muhammadiyah dikenal berkemajuan (burhani). Sedangkan PWNU Jatim hanya dari kalangan Nahdliyin yang dikenal lebih tradisionalis (irfani).

Intensitas dialog antara agama dan sains juga sangat mempengaruhi hasil dari fatwa.  MUI Pusat cenderung lebih mendalam pertimbangannya terkait dengan analisis dari segi ilmu kesehatan. Sedangkan PWNU Jatim sebenarnya juga melakukan dialog pakar sains dalam hal ini, namun pendapat ulama tampak lebih dominan mempengaruhi hasil akhir fatwa PWNU Jatim. Walaupun perbedaan fatwa adalah hal yang lumrah terjadi, namun hal-hal yang menyebabkan adanya perbedaan fatwa tersebut secara akademik menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Perbedaan Ijtihad adalah Lumrah

Adanya perbedaan fatwa tersebut merupakan bentuk dinamika ijtihadi yang alamiah terjadi. Fatwa vaksin Astra Zaneca merupakan hasil ijtihad kolektif-institusional. Karena fatwa merupakan produk ijtihad, sehingga kebenaran hukum yang dihasilkan juga bersifat independen. Jika ada keputusan ijtihad yang berbeda dan bertentangan dalam satu persoalan yang sama semuanya dihukumi benar menurut keyakinan masing-masing mujtahidnya. Apa lagi ketentuan hukum dari fatwa vaksin tidak mengikat. Masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih diantara keduanya mana yang terbaik sesuai dengan kondisi dan keyakinan masing-masing. Apa lagi ada kaidah yang menyatakan bahwa al-ijtihadu la yunqadlu bil ijtihad, bahwa hasil ijtihad tidak dapat membatalkan hasil ijtihad yang lainnya. Toh, kesimpulan akhir dari fatwa keduanya sama, yaitu “boleh”.

Program vaksinasi di Indonesia masih terus berjalan dan masih membutuhkan proses yang lama. Namun, kegaduhan dan penolakan terhadap vaksin juga masih terus terjadi dan belum bisa diatasi secara maksimal. Kesuksesan program vaksinasi di Indonesia sangat dipengaruhi dari leterasi dan edukasi yang diterima masyarakat. Disinilah, sesungguhnya lembaga-lembaga kagamaan dapat mengambil peran. Lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI, NU dan Muhammadiyah memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam membantu pemerintah dalam mengatasi penolakan dan kegaduhan karena vaksin sehingga progam vaksinasi dapat berjalan dengan sukses.

Langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah bekerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan tersebut dalam memberikan edukasi dan memproduksi narasi-narasi positif tentang vaksin. Walaupun kerjasama kedunya dinilai terlambat, namun hal tersebut masih bisa dilakukan. Apalagi program vaksinasi masih terus berjalan dan masih membutuhkan waktu yang panjang.

Sejauh ini, umat masih percaya dengan fatwa. Sehingga fatwa yang murni dan independen harus terus dijaga agar umat tidak kehilangan krisis kepercayaan pada fatwa dan ulama tidak kehilangan wibawa. Jangan sampai lembaga-lembaga keagamaan yang masih dipercaya tersebut terjebak pada kepentingan politik sesaat degan mengorbankan kepentingan umat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

Imunisasi Serentak IBI DIY untuk Memperluas Cakupan
Ribuan Anak di Tamanmartani Sleman Dijadwalkan Vaksinasi Booster Difteri
Ada Kasus Antraks, Ribuan Dosis Vaksin di BB Vet Wates Justru Tak Terpakai sampai Kedaluwarsa
Ratusan Ternak di Gayamharjo Sleman Mulai Divaksin Antraks

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Garuda Selangkah Lagi Menuju Paris, Ini Fakta tentang Olimpiade Melbourne 1956
  2. Satu Kemenangan Lagi menuju Olimpiade Paris, STY: Percayai Saya, Ikuti Saya!
  3. Koalisi Berkah Pecah, Hari Wuryanto Bakal Maju sebagai Calon Bupati Madiun 2024
  4. Garuda Muda Wajib Waspada, 3 Pemain Uzbekistan Bermain di Prancis dan Rusia

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Krisis Geopolitik dan Risiko Fiskal
OPINI: Faktor Motivasi dan Turunnya Angka Pernikahan di Indonesia
OPINI: Kartini Membangun untuk Indonesia Gemilang
OPINI: Buku untuk Masa Depan

OPINI: Buku untuk Masa Depan

Opini | 3 days ago
OPINI: Peran Upah dalam Dinamika Pengangguran di Indonesia
OPINI: Dari QRISnomics Menuju Yogya QRIStimewa
OPINI: Mudik 2024 dan Refleksi Masalah Kependudukan DIY
OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta