Opini

OPINI: RUU PKS, Harapan Perlindungan Hukum Kawin Paksa

Penulis: Thogu Ahmad Siregar , Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UGM & Co-Founder Legal Talk Society (LTS)
Tanggal: 14 Juni 2021 - 06:07 WIB
Thogu Ahmad Siregar , Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UGM & Co/Founder Legal Talk Society (LTS)

Persoalan kawin paksa bukan sebuah persoalan yang baru dan juga bukan persoalan yang begitu populer dibicarakan. Tapi, fenomena ini terus terjadi bahkan ada yang menjadi tradisi seperti di adat Suku Sasak, Lombok Tengah, NTB (dilansir voaindonesia.com). Tidak kalah miris bahwa baru-baru ini ramai dibicarakan soal praktik kawin paksa yang divisualisakian dalam sebuah sinetron yang membuat berapa kalangan masyarakat merasa resah.

Fokus dalam membicarakan praktik kawin paksa, praktik tersebut baik adanya kondisi atau dorongan yang mengharuskan untuk melakukan praktik kawin paksa sejatinya sebuah perilaku yang tidak dibenarkan. Secara hukum, praktik kawin paksa bukan sebuah perbuatan yang diperbolehkan, namun tidak ada pula secara hukum perihal pencegahan atas praktik kawin paksa.

Perkawinan di Indonesia secara hukum diatur dalam Undang-Undang (UU) No.1/74 tentang Perkawinan dan UU No.16/19 tentang Perubahan UU No.1/74 tentang Perkawinan. Penting memahami arti perkawinan agar perkawinan tersebut memang dilaksanakan sebagai mestinya.

UU Perkawinan memberi definisi perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ikatan lahir batin merupakan poin utama dalam perkawinan lalu disambung dengan bertujuan membangun rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Menjadi persoalan jika perkawinan didasarkan bukan atas kehendak dari para pasangan, karena kunci dari perkawinan ialah lahirnya sebuah ikatan baik lahir maupun batin.

Jika ikatan lahir batin yang dimaksud oleh UU Perkawinan tidak dapat terealisasikan dengan baik, maka rumah tangga yang dihasilkan juga tidak sampai pada tujuan bahagia ataupun kekal.

Tidak hanya soal esensi perkawinan semata, Pasal 6 UU Perkawinan memberi syarat perihal sahnya perkawinan. Syarat utama dari melangsungkan perkawinan ialah adanya persetujuan dari masing-masing pasangan tersebut Pasal 6 Ayat 1 UU Perkawinan yang dilanjutkan dengan beberapa syarat lainnya.

Fokus pada syarat persetujuan, praktik kawin paksa merupakan hal yang jelas bukan sebuah perkawinan yang setujui oleh pihak yang melangsungkan perkawinan. Awal berlakunya UU Perkawinan yaitu pada 1974, tidak mengamini praktik kawin paksa tersebut. Realitanya, praktik kawin paksa masih terus terjadi baik yang didorong oleh sebuah tradisi maupun kondisi lainnya.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 6 Ayat 1 UU Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.

Hal ini menjadi persoalan yang dilematis, mengingat perkawinan bukan hal yang dapat dipandang sebelah mata, melainkan sebuah peristiwa yang sakral bagi pasangan yang melangsungkannya. Oleh karena itu praktik kawin paksa yang tengah terjadi di masyarakat merupakan persoalan sosial yang seharusnya dapat ditanggulangi oleh hukum.

UU Perkawinan memang tidak mengenal istilah kawin paksa dan praktik tersebut juga tidak dapat dibenarkan karena tidak adanya persetujuan kedua belah pihak yang mana syarat sah perkawinan yang tidak terpenuhi.

Namun UU Perkawinan tidak memberi sebuah perlindungan yang lebih lanjut atas persoalan ini, perlu diketahui bahwa dalam UU Perkawinan tidak mengatur tentang ketentuan pidana.

Harapan Perlindungan Hukum

Memang pada akhirnya perkawinan yang terindikasi kawin paksa tetap berlangsung. Namun persoalan ke depan, apakah rumah tangga tersebut dapat dipertahankan? Mengingat angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya terus mengalami kenaikan.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) merupakan sebuah aturan yang sering dibicarakan beberapa waktu belakangan. Pembicaraan yang dimaksud ialah pentingnya RUU PKS disahkan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan kekerasan seksual.

Sempat ditarik dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, RUU PKS kembali masuk Prolegnas untuk periode 2021 dan berharap untuk segera dibahas dan lalu disahkan.

Kawin paksa erat kaitannya dengan RUU PKS. Hal ini mengacu pada Pasal 11 Ayat 2 RUU PKS, yang mana pasal tersebut memberi klasifikasi terkait perbuatan apa saja yang termasuk tindak pidana kekerasan seksual. Salah satu dari banyak tindak pidana kekerasan seksual ialah pemaksaan perkawinan atau dikenal dengan kawin paksa. 

Istilah pemaksaan perkawinan dalam RUU PKS ini memiliki arti “kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan”.

Tidak hanya sebatas aturan semata, pidana pemaksaan perkawinan juga termaktub di dalam Pasal 116-119 RUU PKS dengan beberapa kategori tindak pidana pemaksaan perkawinan.

Adanya pidana pemaksaan perkawinan tentu menjadi babak baru terhadap perlindungan hukum atas tindakan penyelewengan praktik pemaksaan perkawinan. Tanpa adanya perlindungan yang jelas selama ini membuat tradegi perkawinan paksa terus terjadi dan menimbulkan dampak negatif baik bagi keluarga itu sendiri maupun masyarakat.

Harapan besar tertuang dalam RUU PKS dalam menyelesaikan persoalan pemaksaan perkawinan. Memang tidak dapat langsung berjalan begitu saja, oleh karena itu jika RUU PKS disahkan akan lahir babak baru terkait perlindungan-perlindungan hukum yang selama ini bias untuk dibicarakan apalagi untuk diproses secara hukum, salah satunya ialah kawin paksa ini.

Jika berbicara sedikit mengenai soal praktik kawin paksa yang divisualisasikan di dalam sebuah sinetron. Selain tercela secala sosial, alur cerita yang divisualisasikan sama sekali tidak mencerminkan jika orang-orang dibalik layar tersebut paham akan hukum.

Kejadian-kejadian yang ditulis lalu divisualkan tersebut justru tidak masuk akal jika dilihat dari kacamata hukum. Tidak hanya kawin paksa, ada poligami dan perkawinan anak juga di dalamnya. Menjadi ironis jika orang dibalik layar itu benar-benar tidak mempertimbangkan keputusannya atas norma-norma hukum yang berlaku di negeri ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

Tok, Paripurna DPR Akhirnya Setujui RUU Desa Jadi Undang-Undang
MK Tolak Judicial Review Pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan
Jaringan Masyarakat Sipil Desak Percepatan Pengesahan Aturan Turunan UU TPKS
Uji Formil UU Cipta Kerja Ditolak, Begini Cara Hitung Pesangon PHK dan Pensiun Karyawan

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Naik 10%, Volume Kendaraan Diprediksi sampai 9 Juta di Solo saat Lebaran 2024
  2. Berbagi Kebahagiaan, Tuntas Subagyo Buka Puasa Bersama Anak Yatim di Sukoharjo
  3. Kabar Gembira Persis Solo, Irfan Jauhari Merumput Lagi setelah Absen Semusim
  4. Menang Pilpres, 9 Parpol Koalisi Indonesia Maju di Klaten Bertemu Bahas Pilkada

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite
HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

Opini | 2 days ago
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan
HIKMAH RAMADAN: Ramadan di Gaza Palestina
OPINI: Salib Tanpa Dipikul

OPINI: Salib Tanpa Dipikul

Opini | 4 days ago
HIKMAH RAMADAN: Orang yang Merugi di Bulan Ramadan
OPINI: Bijak Mengurangi Sampah, Wujudkan Ramadan Penuh Berkah
HIKMAH RAMADAN: Berpuasa Ramadan di Era Post Truth
OPINI: Program Makan Siang dan Susu Gratis: Apakah Efektif?
HIKMAH RAMADAN: Dakwah Bil Hal Melalui Solidaritas Digital di Era 4.0