Opini

OPINI: Bystander Effect dan Kecurangan

Penulis: Tabita Indah Iswari, Dosen Departemen Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tanggal: 30 September 2021 - 06:07 WIB
Tabita Indah Iswari, Dosen Departemen Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Bayangkan Anda sedang berjalan di suatu area perkotaan, kemudian terjadi suatu peristiwa kecelakaan. Banyak orang yang berkerumun menyaksikan peristiwa pada saat itu, namun tidak satupun yang menolong korban kecelakaan tersebut. Fenomena ini dikenal dengan istilah bystander effect.

Bystander effect dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu fenomena dimana seseorang tidak akan menolong orang lain yang membutuhkan bantuan karena berpikir akan ada orang lain yang akan melakukannya. Seperti yang dikutip dari www.psychologytoday.com, istilah ini muncul sekitar tahun 1964, dipopulerkan oleh psikolog sosial Bibb Latane dan John Darley terkait dengan kasus pembunuhan Kitty Genovese di New York. Dalam peristiwa tersebut dilaporkan bahwa banyak orang yang melihat kejadian tersebut namun tidak ada tindakan yang dilakukan untuk membantu. Lebih lanjut dijelaskan mengapa fenomena ini bisa terjadi, dikarenakan adanya respon terhadap rasa takut (response to fear) yang bisa berupa rasa takut karena merasa terlalu lemah dan akan menimbulkan salah memahami konteks, atau melihat suatu ancaman yang akan membahayakan diri.

Hortensius dan De Gelder (2018) dengan dasar pemikiran dari Latane dan Darley menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan bystander effect ini. Faktor yang pertama terkait dengan turunnya tanggung jawab orang karena ada orang lain yang hadir dalam suatu peristiwa (diffusion of responsibility). Faktor kedua terkait dengan ketakutan individu bahwa bantuan yang diberikannya akan dianggap negatif oleh pengamat lainnya (evaluation apprehension). Candra Sari (2018) menambahkan faktor lain yaitu social influence, yang terkait dengan kebutuhan untuk berperilaku dengan cara yang benar dan dapat diterima secara sosial.

Lalu bagaimana bystander effect ini bisa terjadi dalam ranah organisasi bisnis? Dalam hal ini, bystander effect bisa muncul saat seseorang bersikap apatis saat mengetahui ada pihak yang berbuat kecurangan (fraud). Sophia Carlton, CFE, seorang risk advisory manager dari Grant Thornton LLP, seperti yang dikutip dari website Associate of Certified Fraud Examiner menjelaskan bahwa saat seseorang melihat ada orang lain dalam sebuah organisasi melakukan suatu kecurangan, orang tersebut akan berasumsi bahwa akan ada orang lain yang akan mengetahuinya. Orang yang menyaksikan peristiwa kecurangan itu tidak melakukan pengungkapan karena berpikir akan ada orang lain yang akan melakukan pengungkapan kecurangan tersebut. Hal ini, menurut Carlton, disebut “fraud effect” yang tentu saja akan memiliki konsekuensi yang serius terhadap sebuah organisasi dimanapun (www.acfe.com). 

Candra Sari (2018) lebih lanjut juga menjelaskan bahwa fenomena bystander effect ini merupakan sebuah continuum, dimana individu bisa bergeser dari pengamat yang tidak bersalah (innocent bystander) yang mendiamkan kecurangan, perlahan bergeser menjadi innocent participant, lalu menjadi active rationalizer, dan akhirnya menjadi pelaku yang bersalah (guilty perpetrator) yang melakukan kecurangan.

Beberapa penelitian (Brink, et. al, 2015; Gao, et. al, 2015; Fredericks, et. al, 2011) seperti yang dikutip dalam Candra Sari (2018) juga menjelaskan beberapa fenomena bystander effect ini.  Sebagai contoh berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Brink, et. al (2015) yang dikutip oleh Candra Sari (2018) memberikan hasil penelitian yang sejalan dengan bystander effect, yaitu dengan adanya bukti kuat dan keberadaan orang lain yang juga mengetahui kecurangan tersebut, akan menyebabkan seorang individu merasa bahwa tanggung jawabnya untuk melaporkan kecurangan semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh salah satu faktor penyebab bystander effect yaitu diffusion of responbility. Sementara penelitian Fredericks, et. al (2011) yang dikutip oleh Candra Sari (2018) membuktikan bahwa dalam kondisi dilema etis, perilaku atau keputusan yang dilakukan seseorang dipengaruhi oleh perilaku dan keputusan orang lain.

 

Mengurangi Kecenderungan

Lalu bagaimana bystander effect ini dapat dapat dicegah atau dimitigasi, terlebih kaitannya dengan saat sebuah kecurangan terjadi? Sebuah artikel berjudul How to Overcome the Bystander Effect yang ditulis oleh Kandra Cherry seperti yang dikutip dari www.verywellmind.com memaparkan secara umum ada beberapa faktor yang dapat membantu seseorang untuk mengurangi kecenderungan tersebut. Salah satu faktor untuk mencegah terjadinya bystander effect yang relevan dengan situasi saat kecurangan terjadi adalah seseorang harus selalu menjadi pengamat untuk sebuah situasi (being observant). Dijelaskan dalam artikel tersebut bahwa terkadang seseorang gagal dalam melakukan sebuah tindakan karena dia tidak menyadari apa yang sedang terjadi sampai suatu kejadian itu sudah terlambat. Hal ini bisa terjadi dikarenakan situasi juga bersifat ambigu sehingga sulit untuk menentukan apakah suatu tindakan memang harus dilakukan. Terkait dengan hal tersebut, maka sikap peka terhadap situasi menjadi sangat penting untuk menyadari bahwa suatu kecurangan sedang terjadi, sehingga seseorang akan terbiasa menjadi pengamat serta dapat terhindar dari sikap tidak peduli dan segera melakukan pengungkapan terkait kecurangan yang sedang terjadi.

Implikasi praktis dari penelitian yang dilakukan oleh Brink et. al (2015) dalam Candra Sari (2018) juga memberikan masukan terkait upaya mitigasi bystander effect dalam sebuah perusahaan. Terkait dengan terjadinya kecurangan yang terjadi, penelitian tersebut memberikan rekomendasi kepada perusahaan untuk merancang pelatihan dan sistem insentif yang dapat mengurangi bystander effect. Upaya ini dapat dilakukan untuk mendorong individu melaporkan kecurangan yang terjadi di dalam sebuah perusahaan. Hal ini juga sejalan dengan implikasi praktis yang dipaparkan dalam penelitian oleh Fredericks et. al (2011) dalam Candra Sari (2018) bahwa pelatihan dan pendidikan etis kepada karyawan sangat penting untuk ditanamkan dalam sebuah organisasi secara periodik. Karyawan dan jajaran manajemen harus membiasakan penerapan perilaku etis tersebut, karena sesuai dengan teori bystander effect, bahwa keputusan dan perilaku individu akan terpengaruh dengan keputusan orang lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite
HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan
HIKMAH RAMADAN: Ramadan di Gaza Palestina

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Viral Jambret Bawa Kabur Mobil Patroli Polisi di Jakarta, Simak Kronologinya
  2. Timnas 3x3 Putra Pulang, ke Depan Harus Lebih Siap
  3. Simak Agenda IMI 2024, Ada Kejurnas Mandalika Racing Series
  4. Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek Janji Terus Masifkan Lagu Anak

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite
HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

Opini | 2 days ago
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan
HIKMAH RAMADAN: Ramadan di Gaza Palestina
OPINI: Salib Tanpa Dipikul

OPINI: Salib Tanpa Dipikul

Opini | 4 days ago
HIKMAH RAMADAN: Orang yang Merugi di Bulan Ramadan
OPINI: Bijak Mengurangi Sampah, Wujudkan Ramadan Penuh Berkah
HIKMAH RAMADAN: Berpuasa Ramadan di Era Post Truth
OPINI: Program Makan Siang dan Susu Gratis: Apakah Efektif?
HIKMAH RAMADAN: Dakwah Bil Hal Melalui Solidaritas Digital di Era 4.0