Opini

Menyikapi Perubahan Peraturan Pajak Baru

Penulis: Nuritomo, Dosen Departemen Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tanggal: 18 November 2021 - 06:07 WIB
Nuritomo, Dosen Departemen Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Undang-Undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 29 Oktober 2021. Peraturan ini mengubah berbagai aturan perpajakan yang ada, termasuk di dalamnya Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak Karbon, Cukai, serta yang cukup membuat ramai: Program Pengungkapan Sukarela.

Pembahasan peraturan perundang-undangan ini juga diramaikan dengan masalah PPN yang akan dinaikkan dan diperluas pada kebutuhan pokok. Banyak pihak menentang kenaikan ini karena dikhawatirkan akan menurunkan daya beli masyarakat terlebih masa pandemi. Pemerintah melalui UU HPP akhirnya memutuskan menaikkan PPN secara bertahap. Pada 1 April 2021 nanti, PPN akan naik dari 10% menjadi 11% dan menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Berdasarkan aturan pajak terbaru ini, mulai tahun 2022 perhitungan pajak untuk wajib pajak (WP) orang pribadi (OP) juga berubah. Jumlah pendapatan kena pajak yang dikenakan tarif 5% naik sebesar Rp10 juta menjadi 0-Rp60 juta, sedangkan untuk WP super kaya diberikan tarif khusus 35% (di atas Rp5 miliar/tahun). Tentu meskipun kecil (memberikan manfaat penurunan pajak maksimal sekitar Rp1 juta, manfaat bagi WP OP kecil ini tetap perlu disyukuri. Di sisi lain, tarif pajak untuk WP badan yang semula akan diturunkan menjadi 20%, tidak jadi diturunkan serta dipertahankan pada tarif 22%. Namun demikian, usahawan usaha mikro kecil menengah (UMKM) patut bersyukur karena aturan pajak ini memberikan diskon pajak yang besar bagi UMKM.

Aturan pajak ini memberikan kelonggaran pajak bagi UMKM (WP yang memiliki omzet

WP UMKM baru dikenakan pajak jika omzet per tahun melebihi Rp500 juta. Hal ini tentu harus dimanfaatkan secara optimal oleh WP UMKM dalam meningkatkan kepatuhan pajaknya. Perlu diingat bahwa teknologi informasi yang semakin baik serta data perpajakan yang semakin komplet membuat penghindaran pajak yang ilegal semakin sulit dilakukan. Oleh karena itu, insentif menarik ini layak untuk dimanfaatkan.

Isu menarik lain terkait dengan aturan ini adalah berkaitan dengan akan digunakannya nomor KTP (NIK) sebagai NPWP. Tentu hal ini akan memberikan berbagai kemudahan bagi WP dalam administrasi dan DJP dalam meningkatkan penerimaan pajaknya. WP selama ini melakukan berbagai aktivitas dan transaksi harus memasukan NIK-nya, sehingga aktivitas ini dapat menjadi sumber informasi bagi DJP dalam melakukan pengawasan.

Tetapi Anda juga tidak perlu khawatir, karena tidak serta merta seluruh orang yang memiliki NIK akan dipajaki. WP hanya akan membayar pajak jika memiliki penghasilan yang melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak, >Rp 54 Juta sampai dengan Rp72 juta/tahun) atau WP UMKM yang omzetnya melebihi Rp500 juta/tahun.

Bagian paling menarik dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah dilakukannya Program Pengungkapan Sukarela yang sering diartikan WP sebagai tax amnesty II. Program ini memberikan kesempatan bagi WP yang selama ini belum mengisi SPT Tahunannya dengan benar, lengkap, dan jelas untuk melaporkan harta belum diungkapkan.

Program ini dapat diikuti oleh WP OP (Kebijakan I dan II), khusus untuk Kebijakan I (Pengungkapan Aset sampai dengan Tahun 2015) dapat dilakukan oleh WP badan yang pernah ikut program tax amnesty sebelumnya.

 

Tarif Pengungkapan

Pemanfaatan program ini sangat menarik meskipun besaran tarifnya cukup tinggi jika dibandingkan dengan tax amnesty tahun 2016 lalu. Namun demikian, jika kita cermat dalam menghitung pajak yang harus dibayarkan, jumlah tarif pengungkapan ini tetap cukup menarik. Sebagai contoh misalkan Anda memiliki aset sebesar Rp1 miliar yang belum diungkapkan, maka potensi pajak yang perlu Anda (WP OP) bayarkan jika mengikuti skema normal adalah sebesar Rp245 juta (belum termasuk denda bunga yang mencapai sekitar 20%, sehingga total menjadi Rp294 Juta). Melalui skema Pengungkapan Sukarela ini besaran tarif yang harus dibayar hanya sebesar 14% (atau 12% jika diinvestasikan pada instrumen tertentu), maka jumlah pajak yang harus dibayarkan hanya Rp140 Juta. Terdapat penghematan pajak sebesar Rp154 Juta (lebih dari 2x lipat).

Tentu saja Anda tetap harus membuat berbagai pertimbangan sebelum memutuskan untuk ikut/tidaknya dalam program ini. Anda perlu pertimbangan seperti apakah harta yang belum Anda ungkapkan ini sebenarnya hanya karena kesalahan teknis/kelupaan.

Jika hanya masalah teknis, sejatinya anda tidak perlu mengikuti program ini. Cukup melakukan pembetulan SPT saja, dan tidak perlu membayar pajak apa pun. Namun, jika bukan karena masalah teknis tetapi pertimbangan lainnya maka keputusan mungkin juga akan berbeda. Pada akhirnya, pertimbangan Anda adalah yang paling penting dalam melakukan manajemen pajak karena yang paham kondisi riil pemenuhan kewajiban pajak tentu diri Anda sendiri. Perubahan peraturan pajak selalu menarik untuk diikuti dan disikapi, sehingga dapat digunakan untuk memberikan manfaat yang besar bagi pemenuhan kewajiban pajak Anda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

OPINI: Faktor Motivasi dan Turunnya Angka Pernikahan di Indonesia
OPINI: Kartini Membangun untuk Indonesia Gemilang
OPINI: Buku untuk Masa Depan
OPINI: Peran Upah dalam Dinamika Pengangguran di Indonesia

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Konten Deepfake Kian Meresahkan, Pemerintah Harus Ambil Komando Memerangi
  2. Nilai UKT Maba 2024 Capai Rp52 Juta, BEM Unsoed Desak Rektorat Lakukan Evaluasi
  3. Berlaga Sabtu, Tim Thomas dan Uper Mulai Jalani Latihan Perdana Hari Ini
  4. Perempuan yang Menolong Dirinya Sendiri

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Faktor Motivasi dan Turunnya Angka Pernikahan di Indonesia
OPINI: Kartini Membangun untuk Indonesia Gemilang
OPINI: Buku untuk Masa Depan

OPINI: Buku untuk Masa Depan

Opini | 2 days ago
OPINI: Peran Upah dalam Dinamika Pengangguran di Indonesia
OPINI: Dari QRISnomics Menuju Yogya QRIStimewa
OPINI: Mudik 2024 dan Refleksi Masalah Kependudukan DIY
OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta
Menghadapi Pertanyaan Stigmatif Saat Lebaran