Opini

OPINI: Risalah Industri Makanan

Penulis: Agnes Gracia Quita, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tanggal: 25 November 2021 - 06:07 WIB
Agnes Gracia Quita, Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Menu dan pemahaman mengenai makanan manusia berubah dari satu peradaban ke peradaban selanjutnya. Sadarkah Anda betapa sulit dan terbatasnya akses untuk menu sehat pada saat ini? Selain harga yang lebih mahal, kadang-kadang opsi kita juga semakin terbatas oleh sulitnya menemukan bahan atau makanan yang sehat.

Sehingga kita hanya bisa membeli dan mengolah makanan seadanya. Susu formula, jus dalam kemasan, nugget, sosis dan daging ayam beku yang telah dibumbui adalah produk yang kerap kita konsumsi. Makanan olahan dan gaya hidup instan sangat normal saat ini, bahkan menjadi pilihan utama karena fleksibilitasnya. Ahli gizi menemukan temuan bahwa manusia saat ini makan bukan lagi untuk “nutrisi atau kebutuhan tubuh”.

Makanan dikonsumsi, dipilih dan ditentukan lebih karena keinginan untuk memuaskan kebutuhan sosial, psikologis dan ekonomi daripada fisiologis (McKenzie, 1982).

Tentunya banyak faktor yang mendasari perilaku hidup tidak sehat, seperti tempo aktivitas yang semakin cepat sehingga masyarakat metropolitan mendambakan proses instan. Namun, tidak bisa dipungkiri peran industri dalam membentuk pola pikir dan gaya hidup juga sangat besar.

Mengapa makanan cepat saji bisa sangat terjangkau? Mengapa susu formula lebih murah daripada minuman kesehatan alami lainnya? Mengapa kita lebih suka mengonsumsi minyak ikan dalam kaplet daripada meminum satu sendok teh minyak kelapa murni? Industri berperan penting membentuk penilaian dan preferensi konsumsi masyarakat saat ini. Industri makanan cepat saji telah begitu menguasai rantai pasokan, sehingga bisa menciptakan harga yang murah dengan menu dan resep yang adiktif. Contoh lain adalah gula, bahan makanan ini selalu dicari dan tidak bisa dilepas dari menu sehari-hari.

Tidak banyak ulasan berita yang membahas betapa gula memiliki banyak efek samping yang tidak kalah membahayakan dengan penyedap makanan buatan. Miskonsep juga terjadi pada masyarakat modern mengenai konsumsi susu.

Minum susu selama berdekade lamanya dianggap sebagai bagian dari perilaku hidup sehat. Sempat ada berbagai kampanye yang menyatakan susu formula dianggap bisa menggantikan air susu ibu sebagai asupan bayi. Selain susu formula, masyarakat juga cenderung menormalisasi suplemen dan penambah vitamin buatan sebagai pengganti buah dan sayur sesungguhnya.

Periklanan, promosi bahkan kebijakan pemerintah membuat gaya hidup kita sehari-hari berevolusi ke arah tidak sehat. Bahkan sektor medis juga terlibat didalamnya, pengobatan holistik yang lebih mengedepankan obat-obatan natural sangat jarang ditawarkan pada fasilitas kesehatan. Representasi gaya hidup pada media membuat kita semakin terbiasa dengan makanan olahan dan obat kimia. Dari perspektif produsen, industrialisasi sendiri memberikan dampak besar pada sektor industri makanan. Serangkaian evolusi teknis terjadi mulai dari produksi hingga pemrosesan dan distribusi.

Sayangnya perkembangan teknis ini seringkali dimotivasi oleh target keuntungan. Kinerja produksi pangan juga digenjot untuk mengimbangi populasi global yang berkembang pesat. Sementara dari perspektif ekonominya harus dipastikan bahwa pertanian tetap menjadi bisnis yang menguntungkan. Sehingga tidak jarang penggunaan pestisida dan pupuk kimia menjadi alat bantu yang umum untuk menjaga kinerja produksi.

Namun tidaklah adil jika kita menganggap semua temuan terkait industrialisasi makanan sepenuhnya membawa kehancuran dalam peradaban manusia, karena sebaliknya temuan ini juga membantu kita membangun gaya hidup yang lebih praktis dan jika diseleksi dengan benar, akan sehat pula. Pengolahan makanan yang lebih modern juga telah membantu meningkatkan gizi, mengurangi limbah makanan dan memberi kita lebih banyak waktu luang. Sehingga isu ini menjadi lebih kompleks daripada mengklaim kemajuan zaman itu buruk (Temple, 2021). Kritik memang selalu diperlukan untuk evaluasi dan inovasi namun kita tidak boleh antipati terhadap teknologi.

Oleh karena itu kesadaran tentang menu sehat perlu dibangkitkan kembali baik dari komunitas produsen, pelaku industri terkait, konsumen dan pemerintah. Berbagai aspek bisa mulai dibenahi. Output-nya berupa  kebijakan, regulasi sampai edukasi. Pemerintah dapat memulai berbagai pendekatan mulai dari pertimbangan pajak dan subsidi untuk mendorong makanan yang lebih sehat (misalnya pajak atas gula dan minuman dengan pemanis buatan). Menciptakan rantai pasokan, permodalan dan inovasi terhadap sektor pertanian. Memberikan dukungan dan peluang pelatihan bagi petani dan nelayan. Serta memberikan subsidi untuk penelitian-penelitian terkait teknologi keberlanjutan terkait industri makanan maupun sektor pertanian/perkebunan/perikanan. Subsidi bisa berupa bantuan lansung, pembentukan lembaga atau beasiswa pendidikan terapan.

Menetapkan standar pengendalian mutu makanan juga perlu diberlakukan di Indonesia. Penting untuk memastikan bahwa semua konsumen tidak menerima perlindungan kesehatan dari perspektif kuratif saja namun juga prefentif. Sehingga badan pemerintah tidak hanya menentukan bahan-bahan yang diperbolehkan namun telah menciptakan kewajiban industri untuk edukasi saran penyajian, nutrisi, keamanan dan efek samping.

 

Membangun Kesadaran

Komunikasi sangat penting untuk membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat akan hidup sehat, dan sebaiknya dimulai pula sejak pendidikan dini.

Kunci utama yang bisa dilakukan Indonesia adalah kajian mendalam mengenai kearifan lokal. Banyak sekali warisan budaya baik kuliner, kesehatan dan bahkan metode pengolahan makanan yang sebenarnya sangat sehat. Kita harus bangga dan tidak malu dengan pengetahuan-pengetahuan tradisional yang kita miliki. Promosi adalah hal yang urgen saat ini dalam mengenalkan menu sehat ala Indonesia. Industri, peneliti dan komunitas terkait juga bisa mengembangkan potensi warisan budaya ini dengan melakukan kajian ilmiah dan mempublikasikan benefit yang didapatkan dari makanan dan obat-obatan tradisional yang dimiliki Indonesia. Representasi dalam media juga sangat penting.

Belajar dari Korea Selatan dan Jepang  dimana betapa media selalu menyajikan visualisasi dan edukasi mengenai kuliner dan obat tradisional mereka, sehingga semakin melekatlah dalam pikiran masyarat. Sebagai konsumen gebrakan yang bisa lakukan sebenarnya sangat sederhana.

Menghargai olahan makanan tradisional dan kearifan lokal ternyata sangat membantu menciptakan gaya hidup sehat. Harapannya pada masa yang akan datang kita bisa lebih eksplorasi dan mengembangkan kekayaan lokal kita dan juga membentuk strategi komperhensif dengan dukungan berbagai pihak (pemerintah, pelaku industri dan konsumen) demi menciptakan peradaban yang lebih sehat.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite
HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan
HIKMAH RAMADAN: Ramadan di Gaza Palestina

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. BRIN akan Kembangkan Reaktor Nuklir Skala Kecil
  2. Disdik Solo Pastikan Sekolah di Kota Solo Sudah Terapkan Kurikulum Merdeka
  3. Drama Penyaliban Yesus di Gereja St Antonius Purbayan Solo Isi Rangkaian Paskah
  4. Didukung Tol dan Ragam Destinasi, Soloraya Makin Ramai Dikunjungi Wisatawan

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite
HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

Opini | 2 days ago
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan
HIKMAH RAMADAN: Ramadan di Gaza Palestina
OPINI: Salib Tanpa Dipikul

OPINI: Salib Tanpa Dipikul

Opini | 4 days ago
HIKMAH RAMADAN: Orang yang Merugi di Bulan Ramadan
OPINI: Bijak Mengurangi Sampah, Wujudkan Ramadan Penuh Berkah
HIKMAH RAMADAN: Berpuasa Ramadan di Era Post Truth
OPINI: Program Makan Siang dan Susu Gratis: Apakah Efektif?
HIKMAH RAMADAN: Dakwah Bil Hal Melalui Solidaritas Digital di Era 4.0