Opini

OPINI: Sinergi Kebijakan demi Optimisme Pertumbuhan Ekonomi

Penulis: Y. Sri Susilo, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Bisnis & Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tanggal: 02 Desember 2021 - 05:07 WIB
Y. Sri Susilo, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Bisnis & Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 mendatang akan mencapai 4,7% hingga 5,5% atau lebih tinggi dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 yang tumbuh 3,4% hingga 4%. Hal tersebut disampaikan Gubernur BI dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2021 (Rabu, 24/11/2021).

Perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut mencerminkan sikap optimistis BI. Sikap tersebut juga didukung pemerintah yang memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2022 dapat mencapai 5.2%. Lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB) dan International Monetary Fund (IMF) juga mempunyai proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan.

ADB menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022. Dalam laporan terbaru bertajuk Asian Development Outlook Supplement - September 2021, lembaga ini merevisi pertumbuhan ekonomi menjadi 4,8% untuk 2022, atau menurun dibanding proyeksi ADB pada April 2021 yang mencapai 5%. Sementara IMF lebih optimistis. Lembaga ini memprediksi ekonomi Indonesia pada 2022 tumbuh 5,9%.

Terhadap prediksi BI, Pemerintah, ADB, dan IMF tersebut ada beberapa pihak yang menganggap terlalu tinggi, salah satunya Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Menurut INDEF, target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 hingga 5% terlalu optimistis, bahkan untuk mencapai 4% pun sangat berat. INDEF menjelaskan daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya. Selain itu, pertumbuhan konsumsi masyarakat juga belum kembali ke angka normal. Akibatnya pertumbuhan ekonomi nasional juga akan masih rendah. Sejalan dengan INDEF, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyatakan ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh di kisaran 3 - 4,5% pada 2022.

 

Optimistis Tumbuh

Penulis berpendapat proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan BI, Pemerintah, ADB, dan IMF merupakan sikap optimistis institusi tersebut. Proyeksi tersebut tentu bukan sekedar “ramalan” namun merupakan hasil estimasi yang didasarkan pada sejumlah asumsi tertentu yang rasional. Di sisi lain, prediksi INDEF dan CELIOS merupakan sikap moderat dari lembaga tersebut. Dari seluruh prediksi tersebut tidak ada institusi yang menyatakan sikap pesimistis untuk perekonomian Indonesia pada 2022 mendatang.

Apakah yang mendasari sikap optimis tersebut? Jika merujuk BI maka kinerja ekspor yang semakin membaik, kenaikan konsumsi dan investasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik/BPS (2021), kinerja ekspor sampai Triwulan III-2021 meningkat 29,10% dibandingkan periode yang sama tahun 2021 (year on year/yoy). Data ini menunjukkan bahwa meskipun di masa Pandemi Covid-19, aktivitas sudah mulai bergerak dan tumbuh positif. Tumbuhnya ekspor tersebut menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi (export led growth).

Selanjutnya data konsumsi rumah tangga juga tumbuh sebesar 1,03% pada Triwulan III-2021 (yoy). Pertumbuhan konsumsi tersebut memang relatif kecil namun tetaop berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi (consumption led growth). Sementara itu data Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM (2021) menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan investasi asing dan domestik sebesar 3,68% (yoy). Jika investasi dilihat dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), sampai dengan Triwulan III-2021 tumbuh sebesar 3,74% dibandingkan periode yang sama tahun 2021 (BPS, 2021). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa investor sudah mulai mananamkan modalnya dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (investment led growth).

Dengan mengacu pada data tersebut dan asumsi kondisi perekonomian yang terdampak Pandemi Covid-19 setidaknya tidak berbeda dengan kondisi sampai dengan Triwulan III-2021, maka prediksi optimis pertumbuhan ekonomi 2022. Selanjutnya jika melihat kondisi pandemi pada Triwulan IV-2021 dimana pandemi relatif terkendali dan kegiatan ekonomi sudah bergerak menuju normal, hal tersebut menambah keyakinan optimis tersebut.

 

Varian Baru

Harus diakui pertumbuhan ekonomi tahun 2022 juga dipengaruhi varian virus baru. Belajar dari penyebaran virus variabel Delta, memaksa pemerintah menerapkan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3-4. Dengan pembatasan tersebut maka laju ekonomi direm sehingga roda kegiatan ekonomi melambat kembali. Seperti diketahui, PPKM membatasi mobilitas barang/jasa serta faktor produksi sehingga menurunkan kegiatan baik sisi permintaan dan sisi penawaran. Kondisi tersebut menjadikan melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Pada November 2021 kemarin, World Health Organization (WHO) telah mengklasifikasi varian B11529 yang muncul di Afrika Selatan (Afsel) sebagai SARS-CoV-2 varian yang diwaspadai. Infeksi di Afsel melonjak drastis dalam beberapa pekan terakhir, bersamaan dengan temuan varian yang dinamai sebagai Omicron. Berkaitan hal tersebut pemerintah diharapkan telah mengambil langkah antisipatif dengan menutup akses masuk dari luar negeri khususnya Afsel dan beberapa negara yang terindikasi sudah terdampak virus varian Omicron. Varian baru tersebut tentu dapat meningkatkan risiko naiknya kasus harian Covid-19 di Indonesia.

Penulis mempunyai keyakinan pemerintah dan pemangku kepentingan lain, termasuk masyarakat, sudah belajar dan memahami dari kasus merebaknya kasus varian Delta. Dari pengalaman belajar tersebut, diharapkan dapat mengantisipasi dan mengendalikan pentebaran virus varian Omicron. Jika hal tersebut dapat dilakukan maka semakin menambah keyakinan untuk optimistis tercapainya pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Sebaliknya jika tidak maka dipastikan prediksi tidak akan tercapai.

 

Sinergi Kebijakan

Banyak pihak menyatakan ketepatan prediksi pertumbuhan ekonomi 2022 sangat tergantung dengan dipenuhinya asumsi yang digunakan sebagai dasar, khususnya variabel penyebaran virus varian Omicron. Penulis setuju dengan pendapat tersebut, namun variabel sinergi kebijakan menjadi faktor yang tidak kalah penting.

Sinergi kebijakan yang dimaksud adalah terjadinya sinergi antara kebijakan fiskal (Pemerintah), kebijakan moneter (BI), kebijakan perbankan dan pembaga keuangan (Otoritas Jasa keuangan/OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan/LPS). Kebijakan percepatan pemulihan ekonomi pada tahun 2020 akan terus dilakukan, jika hasil kebijakan tersebut optimal, makan akan menambah optimisme terhadap target pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

Triwulan Pertama, Realisasi Investasi di Gunungkidul Capai 157 Miliar
Nilai Tukar Rupiah Remuk, Menteri Keuangan: Ekonomi Indonesia Terjaga Sesuai Target
Nilai Tukar Rupiah Remuk Akibat Konflik Iran-Israel, Ini Proyeksi Ekonom
OJK Klaim Ketahanan Perbankan Terjaga di Tengah Pelemahan Rupiah

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Pemakaian Kantong Plastik Sekali Pakai di Pasar Tradisional Solo Masih Tinggi
  2. Tak Bisa Usung Calon Sendiri, Golkar Incar Kursi Wakil Wali Kota Semarang
  3. Siasat BRI Hadapi Ketidakpastian Ekonomi dan Geopolitik Global
  4. Gibran Bagikan 1.100 Sepatu Aerostreet ke Siswa Kurang Mampu di Solo

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Faktor Motivasi dan Turunnya Angka Pernikahan di Indonesia
OPINI: Kartini Membangun untuk Indonesia Gemilang
OPINI: Buku untuk Masa Depan

OPINI: Buku untuk Masa Depan

Opini | 3 days ago
OPINI: Peran Upah dalam Dinamika Pengangguran di Indonesia
OPINI: Dari QRISnomics Menuju Yogya QRIStimewa
OPINI: Mudik 2024 dan Refleksi Masalah Kependudukan DIY
OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta
Menghadapi Pertanyaan Stigmatif Saat Lebaran