Opini

OPINI: Peran Strategis Keuangan Digital & Fintech

Penulis: Mirza Mara, Analis Eksekutif di Bank Indonesia
Tanggal: 21 Januari 2022 - 06:07 WIB

Fintech telah memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional dan menambah akses masyarakat terhadap pembiayaan. Namun, masih ada pekerjaan rumah karena indeks inklusi keuangan kita masih tertinggal dibandingkan negara lain.

Para pelaku industri fintech perlu memperkuat tata kelola yang lebih baik serta memitigasi berbagai potensi risiko yang ada. Pada Fintech Summit 2021 ditekankan kembali pentingnya peningkatan aspek kehati-hatian dan manajemen risiko di industri fintech mengingat selama periode 2018 hingga pertengahan 2021, satgas waspada telah menutup 3.365 pinjaman online ilegal di Indonesia.

Pandemi Covid-19 yang menghantam dunia di awal 2020 turut mengakselerasi perubahan paradigma masyarakat global. Tren perekonomian digital didukung transaksi e-commerce, uang elektronik dan digital banking yang meningkat 40%—60% (yoy), di mana 41,9% total transaksi ekonomi digital Asean berasal dari Indonesia sebesar US$44 miliar pada 2020 dan diproyeksikan mencapai US$124 miliar di 2025.

Disadari bahwa terdapat trade off di mana di satu sisi, revolusi ekonomi-keuangan digital membuka peluang lebar untuk penguatan produktivitas, inovasi dan inklusi keuangan namun juga mengubah landskap risiko secara signifikan.

Terjadi peningkatan risiko siber, persaingan monopolistik, dan shadow banking. Tantangan utama bagi otoritas adalah striking the right balance antara upaya mengoptimalkan manfaat digitalisasi keuangan dengan upaya menjaga stabilitas makro-moneter, stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran.

Untuk itu Bank Indonesia telah meluncurkan inisiatif Blue Print Sistem Pembayaran (BSPI) 2025 pada 2019 dengan lima visi utama. Pertama, mendorong perbankan melakukan transformasi digital perbankan agar bank menjadi lembaga utama dalam pengembangan Ekonomi Keuangan Digital dan mendorong interlink digital bank dengan fintech melalui implementasi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP).

Kedua, mengorkestrasi pengembangan sistem pembayaran ritel nasional, sehingga mampu menjadi infrastruktur utama di era digital yang dikenal dengan BI Fast 24/7 agar dapat meningkatkan customer experience nasabah melalui transaksi cepat, mudah, murah, aman handal serta mendukung integrasi, interoperabilitas dan interkoneksi sistem.

Ketiga, melakukan modernisasi insfrastruktur wholesale payment yang sesuai dengan best practice. Keempat, mendorong pengembangan infrastruktur data publik yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi secara nasional.

Kelima, memperkuat struktur pengaturan yang lebih adaptif dengan perkembangan digitalisasi, melakukan penguatan perizinan dan pengawasan untuk meningkatkan disiplin pasar, integritas, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen.

Infrastruktur Digital

Arah BSPI 2025 kiranya sejalan juga dengan mandat Presiden Jokowi bahwa pemulihan dan kebangkitan ekonomi Indonesia perlu didorong dengan meletakkan fokus pada pembangunan infrastruktur digital.

Transformasi perbankan agar lebih agile di era digital dapat ditingkatkan melalui kolaborasi, dan interlink usaha antara perbankan dan nonbank termasuk fintech dan e-commerce serta melalui konsep open finance, embedded finance atau bank as a service.

Konsep openness, collaboration dan co-creation yang didengungkan dalam leadership maturity untuk menemukenali ide (meritocray idea) mendorong open source dan sharing economy yang menjadi tren pada era digital.

Selain itu, peningkatan penerapan teknologi terkini termasuk big data, machine learning, artificial intelligence, blockchain akan juga mendukung inovasi produk perbankan yang disesuaikan dengan profil konsumen serta inklusi akses keuangan bagi unbanked society termasuk UMKM.

Mengacu pada Mills dan McCarthy (2016), terdapat 4 opsi strategic response kolaborasi bank dengan fintech, yakni The Satellite (Long Tail Incubation), yaitu menciptakan wadah/media untuk test case ide baru, potensi sinergi, dan/atau return yang menarik, The Channel (Arms-Length Partnership), yaitu sekedar melengkapi produk dari jasa existing.

Selain itu The Merger (Strategic Partnership), yaitu berkolaborasi tanpa melebur/mengubah model bisnis existing, dan terakhir The Supplier (Build or Buy), yaitu membangun platform online seutuhnya atau mengubah model bisnis existing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Berita Terkait

OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta
Menghadapi Pertanyaan Stigmatif Saat Lebaran

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Gelapkan Uang & Terlibat Pencucian Uang, Dosen Nuklir UGM Diburu Polda Jatim
  2. Tak Dibagikan ke Warga Miskin, Oknum Kadus di Situbondo Malah Jual Beras Bansos
  3. Bahaya Asap Rokok 20 Kali Tingkatkan Risiko Kanker Paru
  4. Para Pemain Cadangan Pelita Jaya Jakarta Benamkan Bima Perkasa Jogja 101-67

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta
Menghadapi Pertanyaan Stigmatif Saat Lebaran
Mengatur Keuangan Di Masa Lebaran Agar Saldo Tak Berakhir 0
OPINI: Merawat Persatuan dengan Pemaafan
OPINI: Tetap Happy Tanpa Drama Menghadapi Pertanyaan Stigmatif saat Lebaran
OPINI: Emas, Sang Primadona Investasi
HIKMAH RAMADAN: Idulfitri: Menjaga Kemenangan dalam Takwa
OPINI: Pengetatan Moneter dan Fiskal