Opini

OPINI: Lahan untuk Kesejahteraan

Penulis: Eliza Mardian, Peneliti CORE Indonesia
Tanggal: 24 Januari 2022 - 06:07 WIB
Petani beraktivitas di lahan persawahan di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (17/1/2022). Bisnis - Fanny Kusumawardhani

Lahan bagi petani bukan hanya sekadar aset semata tetapi juga bermakna sosial budaya, ekonomi, politik dan bahkan kepercayaan. Lahan merupakan barang produksi yang tidak dapat diperbanyak dan tidak dapat dipindah-pindahkan. Oleh karena itu, lahan dalam usaha tani mempunyai nilai terbesar. Bahkan menurut Breman (1985) lahan menciptakan keamanan dan stabilitas bagi petani.

Ironisnya, mayoritas petani di Indonesia merupakan petani gurem atau petani berlahan sempit (di bawah 0,5 hektare). Proporsi petani gurem dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Pada 2003, proporsinya sebesar 51%. Pada 2018 naik menjadi 58% dari total rumah tangga petani (BPS, 2019).

Menurunnya penguasaan lahan oleh petani berdampak kepada penurunan pendapatan petani. Kemunduran kesejahteraan petani dapat tecermin dari penurunan rata-rata nilai tukar petani (NTP). Pada 2000 rata-rata NTP mencapai 123,40 sementara pada 2019 mencapai 102,99.

Lahan sempit, meski sudah diintensifikasi, tetap saja tidak akan dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga diperlukan pendapatan dari sumber lainnya. Selain permasalahan sempitnya lahan, petani di Indonesia pun dihadapkan dengan rasio gini kepemilikan lahan yang terus mengalami peningkatan.

Pada 2003 rasio gini lahan sebesar 0,56 sedangkan pada 2018 rasio gininya mencapai 0,70 (Bachriadi, 2021). Tinggi rendahnya nafkah dan tingkat kesejahteraan petani banyak ditentukan dari struktur agrarian, susunan atau distribusi kepemilikan, dan garapan atas lahan.

Salah satu solusi untuk meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi ketimpangan lahan adalah melalui perbaikan struktur kepemilikan, penguasaan dan penggunaan lahan. Upaya memperbaiki struktur kepemilikan lahan tersebut dilakukan melalui reforma agraria.

Kebijakan pendistribusian lahan muncul berulang dalam arena kebijakan pertanahan nasional. Pada awal kemerdekaan, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) menjadi tonggak kebijakan agraria. Agenda reforma agraria kembali menjadi agenda nasional pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Agenda reforma agraria diterjemahkan dalam berbagai program seperti legalisasi aset dan redistribusi lahan.

Legalisasi aset dilaksanakan melalui kegiatan sertifikasi lahan transmigrasi dan sertifikasi umum. Di sisi lain redistribusi lahan dilaksanakan melalui pendistribusian lahan eks hak guna usaha (HGU) serta pelepasan kawasan hutan. Jika kita renungkan, manifestasi agenda reforma agraria tersebut belum dapat mengatasi persoalan utama, yakni ketimpangan lahan.

Rasio gini kepemilikan lahan akan tetap tinggi selama lahan masih terkonsentrasi di beberapa pihak dan belum ada upaya nyata untuk memperbaiki hal tersebut. Reforma agraria akan efektif meningkatkan kesejahteraan petani jika pemerintah menyediakan lahan sesuai kebutuhan minimal untuk penghidupan.

Selain itu perlu adanya jaminan harga, pasar, kredit, hukum, akses sarana produksi, akses terhadap informasi baru dan teknologi, pendidikan dan pelatihan (Wiradi, 2009).

Berkaca pada pendistribusi lahan di Desa Sukawargi Garut, lahan eks HGU PT Hardjasari seluas sekitar 107 hektare yang dibagikan kepada 408 kepala keluarga, pembagiannya tidak merata. Ada masyarakat yang menerima 3 hektare dan bahkan ada yang menerima 0,16 hektare. Agenda pemberdayaan setelah pemberian lahan pun belum sepenuhnya dilakukan, sehingga belum berdampak signifikan terhadap kesejahteraan (Adiprana dkk, 2021).

Pada intinya, untuk meningkatkan kesejahteraan petani tidak mesti hanya dengan reforma agraria. Kunci utama untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah dengan perbaikan sistem insentif. Sektor pertanian harus menjanjikan keuntungan.

Saat pendapatan dari produksi melampaui biaya konsumsi, petani akan melakukan investasi di sektor pertanian untuk meningkatkan atau memperoleh sumber daya penunjang produksi dan meningkatkan kemampuannya (Swift, 1989). Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membangun sentra distribusi yang didukung dengan sistem informasi. Dalam hal ini adalah Pusat Distribusi Komoditas Terpadu (PDKT).

PDKT di setiap desa menghimpun informasi pasar, harga, lahan, tenaga kerja, bantuan serta pelatihan. PDKT setiap desa dapat bertukar informasi dan diakses oleh kementerian/lembaga terkait untuk menetapkan kebijakan.

Dengan adanya PDKT, pemasaran dan distribusi menjadi lebih terencana dan terukur, fluktuasi harga terkendali dan juga dapat mengurangi ketidakpastian dalam sewa dan lahan menganggur. Para pemilik lahan melakukan kontrak kerja sama untuk menyewakan lahannya dalam jangka waktu tertentu.

PDKT pun dapat menghimpun informasi tenaga kerja yang tersedia di desa serta menyediakan informasi bantuan, pelatihan dan pengembangan keahlian petani.

Upaya-upaya tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani, karena ketika petani sejahtera, tidak ada keraguan lagi bagi mereka dalam melanjutkan ekspansi usaha taninya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Berita Terkait

NGUDARASA: Sistem Telah Diterapkan, Kok Tetap Macet?
OPINI: Perebutan Empat Pulau, Konflik Berkepanjangan antara Sumatra Utara dan Aceh
OPINI: Kemiskinan Perempuan Kepala Keluarga
OPINI: Menakar Moralitas Bisnis Pinjol

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Panitia Video Announcer Contest SMG 2025 Tetapkan 50 Nominasi, Ini Daftarnya
  2. CIMB Niaga Sponsori VAC SMG 2025, Lomba Video Penyiar Masuk Tahap Penilaian
  3. SEMARAK SATU DASAWARSA BAPERKA Merayakan Dekade Perawatan Perkeretaapian
  4. SEMARAK SATU DASAWARSA BAPERKA Merayakan Dekade Perawatan Perkeretaapian

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Awas Brain Rot Mengintai Anak Muda!
OPINI: Tarif Amerika dan Pelambatan Ekonomi, Saatnya DIY Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal
OPINI: Diam karena Takut: Ketika Stigma Tutup Akses Rehabilitasi Narkoba
NGUDARASA: Sistem Telah Diterapkan, Kok Tetap Macet?
OPINI: Menakar Moralitas Bisnis Pinjol
OPINI: Belajar Digital, Bekerja Global: Inilah Sistem Informasi di UKDW
NGUDARASA: Keadilan Restoratif, Solusi yang Kian Diminati
OPINI: Saatnya Jamu Naik Kelas

OPINI: Saatnya Jamu Naik Kelas

Opini | 1 month ago
NGUDARASA: Panen Berkali-kali Berkat Padi Abadi
NGUDARASA: Menanam Baterai, Memanen Energi Hijau