Opini

OPINI: Kenaikan Upah yang Menyejahterakan?

Penulis: Firman Bakri, Direktur Eksekutif Aprisindo
Tanggal: 25 Januari 2022 - 06:07 WIB

Penetapan upah minimum (upah) dilakukan tiap tahun, bahkan seolah menjadi ritual pengujung tahun yang tidak mungkin bisa dilewatkan. Pada masa pandemi penetapan upah tentu akan menjadi makin sulit, pasalnya baik pelaku usaha maupun pekerja juga tengah mengalami tekanan karena dampak ekonomi pandemi Covid.

Bagi pelaku usaha melewati pandemi dengan segala permasalahannya tidaklah mudah, bahkan cenderung sangat berat. Berbagai tekanan mulai dari biaya-biaya yang tetap harus menjadi kewajiban meski sedang tidak berproduksi.

Di sisi lain, bagi pekerja bertahan pada masa pandemi juga tidak mudah. Tekanan kenaikan kebutuhan hidup pekerja dirasakan karena faktor inflasi, pemotongan gaji, bahkan hingga terburuk adalah saat sebagian pekerja harus dirumahkan tanpa gaji selama pandemi.

Dengan kondisi tersebut, penetapan kenaikan upah tentu akan menjadi sulit. Termasuk adalah apakah penetapan kenaikan upah tahun 2022 oleh sejumlah kepala daerah yang bertentangan dengan PP 36 Tahun 2021 juga bisa memenuhi unsur kesejahteraan?

Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perlindungan tenaga kerja adalah untuk menjamin terpenuhinya hak dasar pekerja. Salah satunya dan mungkin yang paling utama menurut penulis adalah hak untuk sejahtera.

Lebih lanjut, pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan akhirnya bisa dinaungi dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam tata kelola ekonomi nasional, UU Cipta Kerja juga memahami akan tantangan dan sulitnya persaingan pada tataran global, yaitu untuk mewujudkan penciptaan lapangan kerja, pemerintah harus membangun struktur ekonomi yang kompetitif.

Dengan konstruksi pemikiran tersebut, maka instrumen penetapan upah sangatlah kompleks. Kenaikan upah semestinya tidak semata dilihat pada kemampuan jangka pendek dan pada standar kehidupan layak untuk buruh. Dengan rerata kenaikan upah 8,6% tiap tahun, dalam jangka panjang upah menjadi faktor penghambat daya saing produk Indonesia.

Karena dalam global value chain pada pasar tujuan ekspor produk Indonesia, harga cenderung tetap (stabil). Kontradiktif dengan kondisi di Indonesia, karena pada faktor inputnya tiap tahun mengalami kenaikan. Pertumbuhan upah sebagai faktor input yang terlalu tinggi dan berlangsung secara tahunan kemudian berdampak terjadinya relokasi pabrik pada industri padat karya.

Relokasi dengan membangun pabrik baru di daerah dengan upah yang kompetitif keluar dari sejumlah sentra industri seperti misalnya dari daerah Tangerang, Serang, Bekasi dan Purwakarta.

Kenyataan relokasi pabrik pada industri padat karya karena faktor kenaikan upah minimum tidak bisa ditutupi. Kenaikan upah yang terlalu tinggi secara tahunan menjadi faktor utama relokasi. Sehingga kemudian pabrik-pabrik induk yang seharusnya melakukan zero growth atau bahkan pertumbuhan yang minus, pada 2021 melakukan perekruitan ulang. Namun pertumbuhan di daerah eksisting ini sifatnya masih temporer, tergantung pada perbaikan kondisi pada negara pesaing Indonesia.

Arah Berlawanan

Sayangnya sejumlah catatan penulis terhadap kebijakan di Indonesia, malah menunjukkan kita berjalan ke arah yang berlawanan. Ada dua contoh peristiwa dan kebijakan yang menjadi catatan penting. Pertama, mengenai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Cipta Kerja. Kedua, keputusan sejumlah kepala daerah dalam menetapkan kenaikan upah yang bertentangan dengan peraturan pemerintah yang sudah menjadi ketetapan hukum.

Kesempatan untuk merebut posisi strategis Indonesia di mata dunia akan hilang. Hilangnya daya saing, akan ber­dampak pada sangat mudahnya Indonesia kehilang­an order. Tidak ada tambahan order artinya tidak akan ada tambahan kapasitas dan investasi.

Ada tiga pihak yang memiliki peran penting dalam kesejahteraan karyawan, yaitu pemerintah, perusahaan dan pekerja itu sendiri. Selama ini instrumen bagi karyawan untuk meningkatkan penghasilan adalah melalui tambah jam kerja dan/atau naik jabatan.

Pada akhirnya, peran pemerintah dalam memenuhi pekerja yang sejahtera masih sangat diperlukan. Salah satunya adalah adanya peran aktif dari pemerintah, baik pusat maupun daerah yang berkontribusi secara langsung dalam meringankan beban karyawan. Alhasil, dengan kenaikan upah yang kompetitif dan mendorong daya saing Indonesia, dan hak pekerja untuk sejahtera juga terlindungi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Berita Terkait

OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta
Menghadapi Pertanyaan Stigmatif Saat Lebaran

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Gelapkan Uang & Terlibat Pencucian Uang, Dosen Nuklir UGM Diburu Polda Jatim
  2. Tak Dibagikan ke Warga Miskin, Oknum Kadus di Situbondo Malah Jual Beras Bansos
  3. Bahaya Asap Rokok 20 Kali Tingkatkan Risiko Kanker Paru
  4. Para Pemain Cadangan Pelita Jaya Jakarta Benamkan Bima Perkasa Jogja 101-67

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta
Menghadapi Pertanyaan Stigmatif Saat Lebaran
Mengatur Keuangan Di Masa Lebaran Agar Saldo Tak Berakhir 0
OPINI: Merawat Persatuan dengan Pemaafan
OPINI: Tetap Happy Tanpa Drama Menghadapi Pertanyaan Stigmatif saat Lebaran
OPINI: Emas, Sang Primadona Investasi
HIKMAH RAMADAN: Idulfitri: Menjaga Kemenangan dalam Takwa
OPINI: Pengetatan Moneter dan Fiskal