Opini

OPINI: Konsumsi, Investasi, dan Inovasi

Penulis: Ronny P. Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution
Tanggal: 08 Agustus 2022 - 06:07 WIB
Aktivitas proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di salah satu tunnel atau terowongan di kawasan Tol Purbaleunyi KM 125, Cibeber, Cimahi Selatan, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). Bisnis - Rachman

Pertumbuhan ekonomi kita terjebak di dalam dilema yang cukup rumit. Bertumpu pada konsumsi rumah tangga membuat sumber investasi dalam negeri menjadi terbatas karena harus mengorbankan “saving” demi konsumsi, yang membuat kekuatan lembaga pembiayaan nasional menjadi ikut terbatas.

Untuk proyek sekelas kereta cepat saja misalnya, dibutuhkan keroyokan dari beberapa BUMN dan investasi dari China. Lembaga pembiayaan nasional, baik perbankan, private investment company, atau public-private investment partnership hanya mampu menindaklanjuti proyek-proyek berskala menengah dan kecil.

Jika angkanya sudah puluhan atau bahkan ratusan triliun, Indonesia harus bergantung kepada pinjaman untuk lembaga pembiayaan itu sendiri, di satu sisi (dalam berbagai bentuk: penerbitan surat utang korporasi sampai rights issue/penambahan kepemilikan publik) dan pada investasi asing langsung di sisi lain.

Risikonya, investasi menjadi sangat labil secara keuangan dan kepemilikan, yang berimbas pada rendahnya prospek sustainability manfaat yang bisa dinikmati oleh Indonesia di kemudian hari. Sangat bisa dibayangkan rumitnya masa depan proyek kereta cepat, misalnya, atau jalan tol, yang dipola dengan skema pembiayaan yang sama. China secara legal-formal dipatok hanya memiliki saham 40%, misalnya, sementara 60% sisanya dimiliki oleh gabungan beberapa BUMN (perbankan dan nonperbankan).

Masalahnya, asal muasal pembiayaan untuk gabungan BUMN tersebut justru sebagian dari pinjaman yang diperoleh oleh lembaga pembiayaanya, yang konon dari negara asal yang sama. Tentu bukan perkara pinjaman korporasi yang berasal dari negara tertentu yang katakanlah agak sensitif secara politik, tetapi perkaranya adalah betapa rendahnya tingkat “saving” nasional yang membuat Indonesia harus menempuh skema-skema investasi yang kurang kualitatif terhadap perekonomian nasional.

Akan tetapi, ini adalah risiko yang harus ditanggung ketika sebuah negara harus mengorbankan “tingkat saving” nasional untuk mendongkrak tingkat konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah sebagai bahan dasar pertumbuhan ekonomi.

Bagaimana pemerintah keluar dari dilema ini?

Persoalan pertama, tentu sulit untuk lepas. Konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah (countercyclical) adalah sumber pertumbuhan yang sustainable, selama pemerintah bisa menjaga irama permintaan dan tingkat penerimaan. Dengan kata lain, kedua kontributor pertumbuhan ini akan tetap menjadi andalan nasional untuk berhadapan dengan berbagai tekanan, dengan risiko tingkat tabungan yang biasa-biasa saja.

Namun, upaya untuk menjaga konsumsi nasional dan belanja pemerintah harus terukur agar benar-benar menciptakan multiplier effect. Konsumsi berbasis produk lokal perlu digalakkan, baik untuk barang konsumsi ataupun barang modal. Belanja pemerintah harus mampu memberikan efek kepada ekonomi riil secara merata dan adil, alias tidak hanya menguntungkan segelintir elite pengusaha.

Oleh karena itu, diperlukan inovasi untuk mendongkrak kapasitas produksi produk-produk domestik (terutama UMKM), inovasi untuk mendorong diferensiasi produk-produk lokal agar segera bisa menggantikan produk-produk konsumsi yang diimpor, serta inovasi regulasi terkait transparansi, akuntabilitas publik, dan law enforcement agar manfaat ekonomi dari belanja pemerintah bisa terdistribusi secara adil.

Persoalan kedua adalah mendorong investasi asing. Indonesia memerlukan dorongan pertumbuhan ekonomi yang kuat agar bisa mencapai angka maksimal, baik untuk berhadapan dengan lonjakan tenaga kerja muda di era bonus demografi maupun untuk mengurangi ancaman middle income trap. Namun, harapan tersisa hanya dorongan dari investasi asing (FDI) dan surplus perdagangan internasional (ekspor-impor).

Masalahnya, tingkat pertumbuhan investasi asing masih sangat standar. China, Vietnam, Singapore, Bangladesh, India, bahkan Malaysia, masih terbilang memiliki tingkat daya Tarik investasi asing yang lebih baik dari Indonesia.

Upaya-upaya kreatif dan inovatif dalam mendatangkan FDI masih sangat terbatas di atas kertas berupa terobosan regulasi (omnibus law, perizinan online, dll) dan inisiasi kelembagaan yang juga sangat terbatas seperti pendirian LPI yang justru awalnya memerlukan sokongan APBN. Upaya ini perlu terus dilakukan, terutama dari sisi realisasi inovasi-inovasi tersebut.

Di sisi lain, pemerintah dan otoritas moneter lagi-lagi untuk menjaga muka menoleransi ‘hot money’, agar kebutuhan dana segar untuk menambal anggaran nasional yang defisit bisa teratasi di satu sisi dan dorongan kontribusi investasi terhadap pertumbuhan masih tetap ada di sisi lain, ketimbang tidak sama sekali.

Meskipun demikian, pelebaran pasar keuangan adalah salah satu solusi terbaik untuk bisa menjadi tahap awal masuknya modal asing sebelum ditransformasi menjadi investasi riil.

Persoalan ketiga adalah kebijakan inovasi nasional yang lebih sinergis dan nyata. Inovasi di sini terkait denganalokasi fiskal pemerintah untuk program Research and Developtment (R&D) terutama terkait peningkatan produktifitas nasional dan pengadaan SDM dengan skill baik.

Inovasi juga terkait kebijakan yang mengikat semua perusahaan dalam ukuran tertentu (terutama BUMN) untuk mengalokasikan jumlah anggaran yang relatif sama untuk R&D, terutama yang berkaitan langsung dengan inovasi yang mendorong produktifitas nasional, mendorong diferensiasi dan kreasi produk-produk domestik yang lebih berkualitas, dan mendorong meluasnya pasar produk dalam negeri di pentas global.

Langkah ini akan menjadi stepping stone bagi pelebaran kapasitas ekspor nasional menuju surplus perdagangan internasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Berita Terkait

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite
HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan
HIKMAH RAMADAN: Ramadan di Gaza Palestina

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Drama Penyaliban Yesus di Gereja St Antonius Purbayan Solo
  2. Didukung Tol dan Ragam Destinasi, Soloraya Makin Ramai Dikunjungi Wisatawan
  3. 26 Pelaku Prostitusi Ditangkap Polres Klaten saat Operasi Pekat Candi 2024
  4. Menilik Kesuksesan Kaliwedi Sragen Kembangkan Agrowisata hingga Waterboom

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite
HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

Opini | 2 days ago
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan
HIKMAH RAMADAN: Ramadan di Gaza Palestina
OPINI: Salib Tanpa Dipikul

OPINI: Salib Tanpa Dipikul

Opini | 4 days ago
HIKMAH RAMADAN: Orang yang Merugi di Bulan Ramadan
OPINI: Bijak Mengurangi Sampah, Wujudkan Ramadan Penuh Berkah
HIKMAH RAMADAN: Berpuasa Ramadan di Era Post Truth
OPINI: Program Makan Siang dan Susu Gratis: Apakah Efektif?
HIKMAH RAMADAN: Dakwah Bil Hal Melalui Solidaritas Digital di Era 4.0