Opini

OPINI: Parasut Penjaga Ketahanan Sistem Keuangan

Penulis: Hendy Pebrian Azano Ramadhan Putra, Pelaksana Pengelolaan Uang Rupiah Bank Indonesia Kalimantan Barat
Tanggal: 09 Agustus 2022 - 06:07 WIB

Pesawat itu bernama kondisi sistem keuangan. Kondisi sistem keuangan haruslah selalu dijaga agar tetap stabil. Masih terekam jelas dalam ingatan dimana pandemi Covid-19 datang secara tiba-tiba memberikan dampak yang begitu terasa. Tidak hanya meluluhlantakkan perekonomian negara, melainkan meluas hingga ke bidang sosial dan politik.

Tak ayal, stabilitas sistem keuangan yang selama ini dijaga oleh Bank Indonesia (BI) dengan kebijakan makroprudensial pun menjadi terganggu. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) merosot, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan menurunnya kepercayaan investor menjadi dampak nyata bagi perekonomian Indonesia. Puncaknya, pada Maret 2020 indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat anjlok sebesar 64% year-on-year ke titik 4.194, yang merupakan all-time low dalam 5 tahun terakhir.

Seperti yang kita ketahui, berbagai kebijakan akomodatif lantas dilakukan oleh BI sebagai upaya mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional, mulai dari rasio countercyclical capital buffer sebesar 0%, hingga ketentuan relaksasi loan to value 0% untuk kredit properti dan kendaraan bermotor.

Sejatinya, kebijakan makroprudensial dilakukan countercyclical agar tidak ada optimisme atau pesimisme yang berlebih pada masyarakat. Countercyclical berarti mengambil pendekatan yang sebaliknya, seperti menaikkan suku bunga saat ekonomi bergairah dan menurunkan suku bunga ketika sedang dalam masa krisis.

Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Seyogyanya, menjaga kestabilan ekonomi nasional tidak hanya merupakan tugas BI dan anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Ke­uang­an (FKSSK) saja, melain­kan juga setiap warga ne­gara harus ikut berperan. Sebagai langkah awal dapat dimulai dengan mempersiapkan ‘parasut’ agar tidak terjun bebas ke tanah jika pesawat yang ditumpangi mendadak rusak di tengah jalan tersambar petir. Salah satu parasut yang dapat dipersiapkan adalah dana darurat (emergency fund).

DANA DARURAT

Tidak ada seorang pun yang ingin jatuh pada lubang yang sama. Krisis moneter 1998, krisis ekonomi 2008, dan pandemi Covid-19 bukan tak mungkin akan terulang kembali. Untuk itu diperlukan dana yang dipersiapkan khusus untuk kondisi mendesak. Tempat terbaik untuk menyimpannya adalah instrumen keuangan yang aman dan mudah dicairkan, seperti reksadana pasar uang dan tabungan deposito.

Untuk menentukan jumlah dana darurat ideal, dimulai dari menghitung berapa pengeluaran bulanan, lalu dikalikan 12. Mengapa 12? Tujuannya bilamana kondisi seperti Covid-19 terjadi kembali, individu masih sanggup bertahan setidaknya dalam jangka waktu setahun. Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau lockdown pun tak jadi masalah, karena telah siap bertahan satu tahun ‘di rumah saja’.

Kata “menabung” mungkin tak asing, tetapi lain halnya dengan dana darurat. Menukil data dari Lifepal, hanya 9% warga negara Indonesia yang memiliki dana darurat. Tentunya ini akan menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus diselesaikan oleh BI dan anggota FKSSK (OJK, Departemen Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan). Edukasi kepada masyarakat harus ditingkatkan, agar semakin banyak masyarakat yang ‘melek’ akan pentingnya memiliki dana cadangan di dalam tabungan, yang digunakan hanya untuk force majeure.

Dewasa ini, BI acap kali memberikan ruang edukasi keuangan dengan mengundang narasumber dari influencer keuangan. Hal yang harus terus dilanjutkan, agar semakin banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya memiliki dana darurat.

Peningkatan jumlah masyarakat yang memiliki dana darurat akan berimplikasi pada perputaran uang di Indonesia akan semakin lancar. Selanjutnya, dana darurat yang terkumpul dialokasikan oleh penyedia jasa keuangan untuk sumber pendanaan korporasi dan rumah tangga. Dampaknya, makroprudensial aman terjaga dan menciptakan stabilitas sistem keuangan.

Ibarat pepatah, selalu ada hikmah dibalik musibah. Ada pelajaran yang dapat dipetik dari pandemi Covid-19. Kita tentu berharap luka memar (scarring effect) segera sembuh dan tidak terulang kembali. Selanjutnya, diperlukan sinergi bersama untuk memperkuat ‘pesawat’, sekaligus mempersiapkan ‘parasut’ sebagai bagian dari antisipasi. Jikalau pesawat tiba-tiba rusak kembali, para penumpang tak akan ikut hancur berkeping-keping, karena telah memiliki parasut bernama dana darurat. Hope for the best, prepare for the worst!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Berita Terkait

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite
HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan
HIKMAH RAMADAN: Ramadan di Gaza Palestina

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Hari Keempat Pencarian, SAR Gabungan Temukan 3 Korban Longsor di Bandung Barat
  2. Hujan dari Pagi di Boyolali, Simak Prakiraan Cuaca Jumat 29 Maret
  3. Hujan dari Siang sampai Sore Hari, Cek Prakiraan Cuaca Klaten Jumat 29 Maret
  4. Mendung Dominasi Prakiraan Cuaca Wonogiri Jumat 29 Maret, Siang-Sore Hujan

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Wacana Pembatasan Pertalite
HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

HIKMAH RAMADAN: Kekuatan Doa

Opini | 2 days ago
OPINI:  Mengendalikan Inflasi Pangan
HIKMAH RAMADAN: Ramadan di Gaza Palestina
OPINI: Salib Tanpa Dipikul

OPINI: Salib Tanpa Dipikul

Opini | 3 days ago
HIKMAH RAMADAN: Orang yang Merugi di Bulan Ramadan
OPINI: Bijak Mengurangi Sampah, Wujudkan Ramadan Penuh Berkah
HIKMAH RAMADAN: Berpuasa Ramadan di Era Post Truth
OPINI: Program Makan Siang dan Susu Gratis: Apakah Efektif?
HIKMAH RAMADAN: Dakwah Bil Hal Melalui Solidaritas Digital di Era 4.0