Opini

OPINI: Habitus Kebudayaan

Penulis: Sumbo Tinarbuko
Tanggal: 18 Desember 2019 - 05:02 WIB
Pertunjukan sendratari Sugriwa Subali di Omah Watu Blencong, Jatimulyo, Girimulyo, pada Kamis (10/10/2019). /Harian Jogja - Lajeng Padmaratri

Di depan sejumlah wartawan dari media massa cetak, elektronik dan dotcom (2/12/2019), Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Prof Arief Rachman mengatakan, ‘’Kebudayaan harus menjadi pengemudi dan kekuatan yang memungkinkan terjadinya perubahan positif untuk kemaslahatan dunia. Karena itulah, kekayaan yang dimiliki Indonesia sudah seharusnya dijaga dan dioptimalkan untuk mendorong perdamaian dunia dan pembangunan berkelanjutan.’’

Diksi kebudayaan dalam konteks habitus kebudayaan harus disepakati sebagai hasil kerja sama yang saling membahagiakan. Sebuah kerja kolaborasi antara manusia dan kebudayaan sebagai subjek serta objek yang disetarakan secara utuh. Penekanan diksi kebudayaan dapat dikonotasikan sebagai upaya mendudukkan rasa kemanusiaan yang berkeadilan. Keberadaannya diharapkan mampu mempersiapkan sebuah peradaban baru yang diisi oleh  manusia terdidik, bermartabat dan berbudaya.

Dosa sosial
Atas dasar hal tersebut di atas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan segera menyusun strategi kebudayaan Indonesia. Hal ini mendesak dilakukan guna membangun fondasi perikehidupan bangsa Indonesia seperti diamanatkan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Artinya, membangun kesadaran berbudaya lewat  pemberdayaan sumber daya manusia bersendikan pendidikan yang memanusiakan manusia agar menjadi manusia bermartabat. Hal itu harus  dikerjakan dan hasilnya menjadi keputusan politik yang tidak bisa ditawar lagi.

Selain itu, membangun strategi kebudayaan berbasis kerakyatan perlu segera dikumandangkan. Semuanya itu layak dilaksanakan agar segera dapat memperbaiki kesalahan sosial masa lalu. Dosa sosial yang membuncah di sanubari bangsa Indonesia adalah ketakutan menunjukkan jati diri sebagai bangsa merdeka. Bangsa gemah ripah loh jinawi yang memiliki kekayaan kebudayaan melimpah ruah. Kekayaan kebudayaan warisan asli nenek moyang atau akulturasi hasil bergaul dengan bangsa lain.

Sebaliknya, bangsa Indonesia seakan bangga ketika jatidirinya dilenyapkan bangsa asing. Mereka memosisikan dirinya sebagai negara produsen. Ironisnya, bangsa Indonesia justru merasa bahagia ketika ditakbiskan sebagai bangsa konsumen. Pada titik inilah, harkat dan martabat kemerdekaan bangsa Indonesia hablur jadi debu.

Momentum indah seperti sekarang ini tidak boleh dilewatkan untuk menyatukan kepingan adat istiadat yang diceraiberaikan pihak tertentu. Harus ada kemauan politik untuk memetakan dan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang mulai dilupakan akibat penetrasi budaya asing. Selain itu, harus ada niatan baik untuk menggali seni rupa dan seni pertunjukkan sebagai representasi peradaban kebudayaan khas Indonesia.

Kecerdasan intelektual
Ketika kebudayaan disepakati sebagai kemudi, seperti diangankan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Prof Arief Rachman, maka pada titik ini, makna kebudayaan seyogianya dipandang sebagai sikap praktik kecerdasan intelektual. Cara pandang semacam itu melibatkan kerja kolaborasi yang konkret antara pemerintah, pejabat publik dan warga masyarakat. Pendeknya, kebudayaan tidak sekadar dipandang dari  perspektif kesenian saja.

Dalam praktik kecerdasan intelektual siapa pun harus menyiapkan diri untuk meleburkan diri secara total di tengah arus kehidupan modern yang bergerak cepat. Prinsipnya, tradisi dan kearifan lokal warisan leluhur harus terpelihara rapi. Sebab harus diakui, peradaban leluhur menelurkan warisan budaya berupa upacara adat, busana dan kuliner. Ada juga warisan budaya senjata tradisional, taman lengkap dengan berbagai jenis tumbuhan, tatakota, arsitektur bangunan. Tidak ketinggalan hadir pula warisan budaya alat transportasi darat tanpa mesin dan kesenian.

Dari sanalah penjuru peradaban kearifan lokal masih dipelihara dengan kesadaran tinggi. Seluruhnya dijalankan demi tercapainya konsepsi luhur manunggaling kawula lan Gusti. Hal ini menjadi penting, karena semuanya itu merupakan akar kebudayaan yang merepresentasikan kebinekaan bangsa Indonesia. Artinya, di dalam kehidupan modern, akar tradisi dan kearifan lokal  tetap berkibar sebagai sokoguru perkembangan habitus kebudayaan milik bangsa Indonesia.

*Penulis merupakan Pemerhati Budaya Visual/Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

Grebeg Gethuk 2024 Kembali Digelar di Alun-alun Kota Magelang
Hanya di Jogja Festival Budaya Wujud Kolaborasi Lestarikan Kebudayaan
Ada Perubahan Mekanisme Grebeg Syawal 2024, Warga dan Wisatawan Tetap Antusias
Manajemen Pengelolaan Rintisan Desa Budaya di Bantul Diperkuat

Video Terbaru

Berita Lainnya

  1. Ada Pemeliharaan, Cek Jadwal Pemadaman Listrik Kota Jogja Hari Ini (27/4/2024)
  2. Lebaran Politik
  3. Innalillahi, Kartini Meninggal Jadi Korban ke-25 Setrum Jebakan Tikus di Sragen
  4. 10 Berita Terpopuler : Kades Pentur Siap Jadi Cabup Boyolali-Simulasi Gempa

Berita Terbaru Lainnya

OPINI: Krisis Geopolitik dan Risiko Fiskal
OPINI: Faktor Motivasi dan Turunnya Angka Pernikahan di Indonesia
OPINI: Kartini Membangun untuk Indonesia Gemilang
OPINI: Buku untuk Masa Depan

OPINI: Buku untuk Masa Depan

Opini | 4 days ago
OPINI: Peran Upah dalam Dinamika Pengangguran di Indonesia
OPINI: Dari QRISnomics Menuju Yogya QRIStimewa
OPINI: Mudik 2024 dan Refleksi Masalah Kependudukan DIY
OPINI: Harmonisasi Organisasi, Belajar dari Kisah Munki & Trunk
OPINI: Mengatur Keuangan di Masa Lebaran
OPINI: Catatan Pendek Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta